Dua minggu yang
lalu saya pulang kampung meninggalkan tanah Maluku menuju Jakarta. Dari
ketinggian 10.000 kaki saya melihat keindahan tanah raja-raja ini begitu
mempesona, hijau, biru dan bening sekali lautnya. Pesawat pun melesat..seeeet,
melewati perairan Sulawesi, masih sama juga biru lautnya dan begitu hijau
pulaunya. Tiga setengah jam saya mengangkasa, dan kemudian tibalah waktunya untuk
mendarat, saya lihat dari atas ketinggian, kota Jakarta dengan segala kepadatan
yang masya Allah, saya lihat pembangunan dimana-mana. Saya curiga ini, 30 tahun
lagi kalau Jakarta terus mengadakan pembangunan, bisa-bisa begitu kita buka
pintu rumah itu sudah masuk rumah orang sangking padatnya.
Pesawat pun
mendarat mulus di Halim, saya disambut Bapak dan adik lelaki saya. Setelah
mengambil barang-barang, mobil kemudian meluncur pulang kerumah saya di Bekasi.
Baruuuu bayar
bea parkir, macet sudah menyapa saya, seolah berkata, “Hai, selamat datang di
Jakarta dan nikmati sampai muntah kemacetan ibukota” sejenak saya membandingan,
betapa enaknya tinggal di Ambon, saya tak pernah menemui macet yang parah
sepeti Ibukota, macet sih ada tapi nggak sampai 5 menit sudah lancar lagi.
Bahkan Makassar salah satu kota besar juga di Indonesia, macetnya nggak separah
ini.
Melihat padatnya
penduduk Jakarta, saya sempat berfikir, apa yang mereka cari di Ibukota ini?
Kok ada orang-orang yang rela menghabiskan sebagian waktunya untuk rela
bermacet-macet ria di jalanan. Itu ya, semisal kamu bikin skripsi, mungkin pergi
dari rumah sampai kampus jadi BAB I, pulang lagi jadi BAB II, seminggu kamu
tinggal di Jakarta selesai itu skripsi :D Beneran saya nggak habis fikir.
Saya ini lahir
di Bekasi, bapak saya membeli rumah di kawasan bebas banjir, 28 tahun kemudian
rumah kawasan bebas banjir itu mulai di sapa genangan air. Nah itu artinya,
pembangunan mulai merampas kawasan kami. Sampai kawasan yang anti banjir pun
sekarang digenangi air. Padahal Bekasi ini daerah dari planet luar Jakarta (ini
kata orang-orang tentang Bekasi) tapi orang-orang yang nggak kebagian tinggal
di Jakarta kemudian pada pindah ke sini, “Hai, selamat datang di planet kami ^^”,
tidak hanya itu, kawasan Bogor, Tangerang, Cikarang pun sekarang mulai dijamah
orang-orang yang bekerja di Jakarta. Apa sebenarnya daya tarik Jakarta sehingga
orang-orang begitu excited untuk pindah dan menetap di sini?
Setelah kelas 2
SD saya pindah ke Samarinda, ikut bapak dinas. Setahun kemudian saya pindah ke
Balikpapan ini tanah kelahiran Ibu saya, nyaris 9 tahun saya tinggal disini Dan
kemudian saya kembali lagi ke tanah kelahiran saya di Bekasi, kuliah dan
menikah. Lalu hijrah ke Ambon. Selama nyaris 10 tahun saya tinggal di
Kalimantan, saya begitu puas merasakan paru-paru saya bersih menghirup udara
segar, kecuali ketika ada kebakaran hutan yang sering melanda hutan Kalimantan,
tapi ini nggak lama paling seminggu. Selebihnya saya bebas merasakan karunia
Allah yang luar biasa ini.
Ketika saya SMA,
untuk berangkat sekolah saya selalu melewati kawasan hutan kota dimana
beruk-beruk suka nangkring di pinggir jalan, rumah saya saat itu di Belakang
Kantor Imigrasi Jl.Jend Sudirman, dan sekolah saya di kawasan perumahan
pertamina daerah Parikesit (orang Balikpapan pasti faham, betapa jauhnya saya
menempuh perjalanan menuju sekolah), entah ya berapa kilo, tapi menurut saya
ini jauh memang. Tapi karena kondisi jalan yang tidak macet, saya bisa pergi
dari rumah jam 6.40 sampai sekolah 10-15 menit kemudian (ini jalan bebas
hambatan loh ya) dan saya merasakan betapa damainya saya menempuh perjalanan
menuju sekolah, segar, tanpa polusi, dan sangking sejuknya saya sampai
ngantuk-ngantuk berada di dalam angkot. Ah saya rindu saat-saat itu J
Kelas 3 SMA saya
pindah ke Bekasi, perbedaan mencolok saya rasakan. Untuk jarak sekolah yang sama
seperti di Balikpapan saya harus bangun pagi-pagi sekali, berangkat pagi-pagi
agar nggak kena macet, sungguh adaptasi yang sangat berat dan sepanjang
perjalanan menuju sekolah saya harus terkena asap polusi kendaraan bermotor,
mendengar sumpah serapah orang, dan muka-muka penuh ketegangan. Tampilan kece
pun berubah menjadi tampilan kucel. Selama bertahun-tahun saya menikmati polusi
dan kemacetan penuh sukacita (baca : sangat merana), dan saya sangat tertekan
sekali menghadapi tahun-tahun sulit ini.
Tahun 2010, saya
menikah dan kemudian saya hijrah ke Ambon mengikuti suami. Seketika saya
menemukan dunia indah saya yang hilang. Di Ambon, memang hidup kami ‘susah’
bukan..bukan dalam hal finansial, pernah kita mengalami mati listrik 8 jam
sehari, air tidak nyala seminggu. Mungkin bagi sebagian orang, hanya orang
bodoh yang senang menikmati kesusahan ini, tapi bagi saya tidak. Saya
menikmatinya, saya bersukur bisa tinggal di daerah yang tertinggal seperti ini,
saya seperti keluar dari zona nyaman dan kesusahan-kesusahan ini begitu
mendewasakan saya. Memang tidak ada mie ramen atau mpek-mpek Gabby, sushi tei
dan banyak fasilitas yang saya rasakan kurang. Indonesia Timur ini saya akui
masih jauh tertinggal. Entah kenapa saya seperti merasa menjadi saksi
pembangunan untuk setiap jengkal kota Ambon, dari Ambon yang tidak punya Mall
sekarang sudah ada 2 buah, dari bioskop 21 merangkak menuju XXI, hotel-hotel
mulai banyak seiring banyaknya orang tahu pariwisata di sini sangat bikin
ngeces. Asal kalian tahu Pizza Hut mulai masuk sini tahun 2015 kemaren (jangan
ketawa!), nah jadi bisa dibayangkan betapa jauh tertinggalnya Ambon ini dibanding
Jakarta. Padahal kalau mau dibilang, Indonesia ini sama, sama-sama lahir dari
ibu pertiwi tapi kenapa ‘didikan’ tidak sama? Saya jadi mikir ya, ‘Ibu’nya kawasan
Indonesia timur ini jangan-jangan ibu tiri :D, lalu apakah saya merana dengan
kesusahan-kesusahan saya terhadap fasilitas? Sungguh saya tidak menemukan itu
disini.
Karena sudah
lama tinggal di Ambon, tawaran untuk pindah pun berdatangan, dan saya bilang ke
suami, “Kalau mau pindah jangan ke Jakarta. Minta pindah ke daerah lain” sueeer,
saya nggak sanggup kalau tinggal di Jakarta atau Bekasi lagi. Cukuplah ke
Bekasi hanya untuk menengok orangtua setahun sekali yaitu saat momen ramadhan
sampai lebaran, tapi untuk tinggal di sini saya nyerah. Saya nggak mau
menghabiskan waktu berharga saya duduk diam tanpa melakukan apa-apa di jalanan.
Saya juga nggak rela mengotori paru-paru yang sudah Allah beri dengan begitu
sempurna ini terpapar asap kendaraan bermotor. Tapi kalau Allah berkehendak lain kita harus pindah ke Ibukota ya sudahlah, saya pasrah T_T. Dan saya salut dengan orang-orang
yang begitu menikmati semua ini tanpa dumelan dan omelan setiap hari, sungguh
saya salut dengan kalian yang begitu sabar menghadapi kemacetan dan polusi
ibukota.
Dan Jakarta
adalah satu-satunya daerah bermaghnet yang dengan begitu mudahnya menarik orang
untuk tinggal. Bahkan banyak pendatang-pendatang yang kemudian mendirikan
bangunan di tanah pemerintah, yang ketika digusur mereka marah, padahal mereka
mendirikan rumah tanpa perizinan, aduh ini bagaimana ka? Coba lihat angka pertambahan
penduduk setiap KMnya, pada tabel yang saya ambil dari BPS ini (ngomong-ngomong
saya belum dapat data tahun 2015), per KMnya,
Sumber : BPS |
Jakarta dihuni 15rb Jiwa, coba
bandingkan dengan Maluku yang hanya 53 jiwa. Nggak usah jauh-jauh deh, masih
banyak daerah lain yang bisa dihuni dengan nyaman kok, coba lihat saja angka
dari tabel ini. Lalu saya kembali bertanya, apa yang membuat orang-orang ini
merasa nyaman tinggal di Jakarta yang sangaaaaat sangat padat dan penuh sesak
ini? Apakah karena over fasilitas sehingga banyak orang yang rela mengorbankan
hidupnya demi kenyamanan tersebut? Atau bagi pekerja kantoran apakah karena
Ibukota menjanjikan kemudahan berkoordinasi dengan orang pusat?
Orangtua saya
ketika saya tanya, “Betahkah tinggal di Bekasi?”, mereka menjawab “Kalau bisa
tinggal di daerah ya kita milih tinggal di sana daripada di sini”.
Stereotip ini juga dianut para pedagang makanan, mereka pikir kalau berjualan di Ibukota itu bakalan laku karena penduduk yang padat apa? Akibat strereotip ini setiap lima langkah tukang jajanan penuuuuuuh di sepanjang jalan. mereka bersaing berebut konsumen, bisa jadi hal inilah yang kemudian memunculkan pedagang-pedagang curang. Dagangan mereka masih tersisa, lalu makanan sisa tersebut bisa saja diawetkan atau dipanaskan ulang. Coba deh pedagang-pedagang ini mau datang ke daerah-daerah yang minim jajanan, saya yakin mereka sukses dan tajir mlintir.
Kalian tau, tukang sayur keliling di Ambon setengah hari dagangannya habis tak bersisa, bahkan mereka suka-suka sendiri kalau jualan. "Mas hari ini nggak jualan?"
"Libur lah mbak hari minggu juga" ya ampun saya pingsan dengernya, bahkan tukang sayur langganan saya ini cuti 3 bulan mudik, kalau dipikir-pikir tukang sayur di Jakarta sampai lebaran saja masih jualan demi mendapatkan uang tambahan, dan baru kali ini saya bertemu dengan pedagang yang nyantai banget jualannya. Oh ya, ada lagi pedagang bubur ayam Bandung, karena disini nggak ada bubur ayam asli Bandung, makanan ini selalu diserbu para perantau juga penduduk lokal dan tau nggak jam 9 pagi bubur ayam ini ludes terjual. Tidak hanya itu, di Mall, rumah makan bisa dihitung dengan jari, contohnya saja di Mall MCM (Maluku City Mall) makanan yang tersedia hanya, KFC, Rice Bowll, Solaria, dan bakso, kalau jam makan siang yang makan masya Allah sampai antri-antri. Apakah pemilik resto tidak berniat buka Resto cepat saji lainnya disini? Daripada berebut cari lahan berjualan di Ibukota?
Nah cobalah kalian para pedagang berfikirlah sejenak, tidakkah kalian ingin berjualan di daerah yang lebih banyak pembelinya daripada jarang pembelinya?
Kalian tau, tukang sayur keliling di Ambon setengah hari dagangannya habis tak bersisa, bahkan mereka suka-suka sendiri kalau jualan. "Mas hari ini nggak jualan?"
"Libur lah mbak hari minggu juga" ya ampun saya pingsan dengernya, bahkan tukang sayur langganan saya ini cuti 3 bulan mudik, kalau dipikir-pikir tukang sayur di Jakarta sampai lebaran saja masih jualan demi mendapatkan uang tambahan, dan baru kali ini saya bertemu dengan pedagang yang nyantai banget jualannya. Oh ya, ada lagi pedagang bubur ayam Bandung, karena disini nggak ada bubur ayam asli Bandung, makanan ini selalu diserbu para perantau juga penduduk lokal dan tau nggak jam 9 pagi bubur ayam ini ludes terjual. Tidak hanya itu, di Mall, rumah makan bisa dihitung dengan jari, contohnya saja di Mall MCM (Maluku City Mall) makanan yang tersedia hanya, KFC, Rice Bowll, Solaria, dan bakso, kalau jam makan siang yang makan masya Allah sampai antri-antri. Apakah pemilik resto tidak berniat buka Resto cepat saji lainnya disini? Daripada berebut cari lahan berjualan di Ibukota?
Nah cobalah kalian para pedagang berfikirlah sejenak, tidakkah kalian ingin berjualan di daerah yang lebih banyak pembelinya daripada jarang pembelinya?
Kriminalitas
Saya juga nggak
habis pikir, ada orang-orang yang rela selama hidupnya siap menerima kejahatan
sewaktu-waktu. Stereotip kebanyakan orang, orang Timur itu sangar-sangar,
sadis. Tapi nyatanya kok saya malah sangat-sangat aman tinggal di Ambon dibanding
jalan di Ibukota. Kalau di Bekasi ketika jalan ke Mall saya harus menitipkan
helm pada penitipan helm, di Ambon helm yang cuma dicangklongkan di atas motor
aja nggak di ambil. Suami saya sering ketiduran lupa memasukkan motor kalau
malam, Alhamdulillah sampai pagi motornya sehat wal afiat :D entah kalau saya
tinggal di Jabodetabek ya.
Angka kejahatan
fisik juga sangat tinggi di Ibukota, kembali saya berfikir kenapa ada orang
yang begitu rela dirinya bakal dianiyaya sewaktu-waktu? Apakah kalian tidak
berniat pindah keluar dari zona tidak nyaman ini (bagi saya)?
Akhir kata saya
sungguh sangat-sangat salut dengan orang-orang Jakarta yang sampai saat ini
sanggup bertahan menghadapi macet, polusi dan juga kriminalitas yang tinggi. Tapi
kalau bisa, ayo keluarlah dari lingkaran setan ini, kota-kota lain di Indonesia
juga sangat nyaman untuk dihuni. Kalau bisa tinggal di daerah lain kenapa harus
datang Jakarta?
Sumber : BPS |
Sumber : BPS |
Sumber : BPS |
Sumber : BPS |
Kalau penduduk yang memang sudah ditakdirkan bekerja di Jakarta karena surat tugas, saya turut prihatin.Semoga kalian sabar dan tabah menghadapi ujian kemacetan, polusi dan kriminalitas tinggi ini :(, saya harus belajar pada kalian, 3 tahun lagi cepat atau lambat suami pasti ditugaskan juga ke Jakarta
Hidup di jakarta itu karena keadaan Manda.Bukan karena pilihan.Kalau disuruh memilih juga semua milih hidup di kampung.Tiap hari sejuk lihat gunung.Tapi hidup adalah pilihan Manda.Gaji di Jakarta buat swasta memang tiga kali lipat di daerah.Tapi pengeluaran juga malah berkali kali lipat dengan tingkat stress tinggi.Kalau disuruh milih mah semua minta di daerah Manda.Tp ya itu..nggak semua bisa seberuntung mereka mereka yang ditempatkan di sana
ReplyDeletemak tulisanku ini mengerucut buat orang-orang yang sengaja dateng ke Jakarta, nyari-nyari kerjaan di Jakarta, karena di daerahnya duitnya nggak ada. Padahal kalau ditekuni saya bilang lebih gampang cari kerjaan di daerah, karena lahannya masih luas
Deleteada pula orang yang nggak betah tinggal di daerah lalu memaksa atasan buat pindah ke Jakarta karena daerah minim fasilitas, padahal masa kerjanya masih lama di daerah. Banyak nih temen2 suami saya yg kayak gini,
mbak, kalo aja ada pilihan lain, ato kalo aja bank asing tempat aku kerja punya cabang di daerah2 terpencil, aku pasti minta pindah kesana :D.. sayangnya kantorku cuma buka cabang di kota2 besar yg notabene sama aja kayak jkt.. Akupun sblm merantau ke jkt, 18 thn tinggal di aceh.. sepi, aman (sebelum pemberontakan GAM beraksi ya), ga macet, ga polusi... dan aku jg sama stress luar biasa pindah ke jkt awal2nya :D.. tapi ya mau gimana, kerjaan dpt di sini, jd mencoba utk belajar mncintai jkt :).. Makanya tiap thn aku slalu traveling ke tempat2 yg sebisa mungkin jgn seperti jkt ;p ngilangin stress mbak..
ReplyDeleteskr planning jangka panjang sih, kalo aku dan suami pensiun nanti, kita pgn pindah ke kota yg lbh tenang, dan beli rumah di sana :)
mba, mba pindah kan bukan atas kemauan sendiri, sedangkan catatanku ini mengerucut sama orang yang nekat ke Jakarta nyari kerjaan, padahal lapangan kerjaan di tempat dia tinggal juga banyak
DeleteKadang miris juga kok mbak kalo bandingin jakarta *baca:semua fasilitas di jawa* dengan daerah luar jawa. Saya pun pernah ngalamin tggal di kalimantan dan papua utk urusan pekerjaan. Kehidupan berbeda sekali. Sangat jauh ketinggalan. Mgkin org2 takut gagal juka harus mencoba di dluar jawa. Selain itu, harga kebutuhan pokok yg jauh melambung dr di jawa bkin mereka mikir, apakah jika kerja dluar jawa bs ngirim uang ke keluarga.
ReplyDeleteAk ada cerita, d papua tepatnya di kaimana bnyak bgt tukang becak. Trnyata mereka asalnya dr jawa *bnyak jatim* mereka dtg ke papua dg ajakan suadara atau teman yg bilang kalo pendapatan d kaimana lbh bnyak dibanding hanya jd buruh tani di jawa yg garap sawah orang. Akhirnya mereka pindah ke kaimana dg harapan bs memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Tp ternyata smpe sana, harga kebutuhan pokok jauh beda. Income mereka harus dibagi buat kos, makan, sewa becak, ngirim keluarga dan buat pulang kampung. Dan kata mereka memang tarifnya lbh besar, cm kalo dipikir2 sm aja.
Nah, yg jd perhatian disini kenapa bag tmur jauh tertinggal karena untuk kebutuhN pokok aja harus kirim dr jawa shgga biaya transport mahal. Sedangkan d bag tmur ga dibuat semacam pusat perekonomian sprti d jawa. Blm lagi kondisi masyarakat yg beda. Jd bnyak aaspek yg bkin daerah kurang greget buat jd tempat cari kerja.
Yap bener, cm org2 yg mau pindah dr comfort zone aja yg bs survive.
Btw saya juga br 3 bulan tggal d tangerang ikut suami. Saya pindah dr jogja. Awal2 saya hampir gila ketika ada acara d jakarta saya harus berangkat pagi2 buta dan harus selalu on.
Salam kenal
iya, kalau di Papua emang serba mahal apa2 juga, dia kan paliiiiiiiing timur di Indonesia, tapi di Ambon harga2nya sama kayak di Makassar dan nggak jauh beda juga kayak harga di Jakarta paling selisih 1000-2000 bagi saya sih harga segitu nggak bgtu mahal, dibanding harga di papua yg bisa beda 10ribu,
Deletebtw disini sepatu2 sport yang dijual brand2 Adidas, nike dll di outlet2 sport stasion lebih murah oh dari Jakarta, baju2 juga gitu bahkan ada yang diskon sampe 50% dari Jakarta *bingung kan*
Hahahahaha...itu kenapa hayo? Apakah karena pelabuhan lbh deket? Cukai lbh rendah? Hmmmm...
DeleteLbh aneh lagi jakarta macet, kotor, apa2 mahal, apa2 jd jauh padahal deket, individualis, tp msh jd tujuan dan setiap taun sll nambah.
Bingung lagiii....
Makannya saya stress banget nih tinggal di pinggiran ibukota, pinggirannya aja loh padahal T_T
DeleteSupaya gf stress dan nrimo tinggal di jakarta gimana ya
ReplyDeleteYa kudu ikhlas hehe.... :D
DeleteSaya bakal suami ke jakarta, tp rasanya kalau bsa ke daerah ajam tp gg mungkin lagi. Gmana caranya biar bsa nrimo kondisi jakarta yg saya bayangkan tdk akan mudah. Ketemu aja mungkin hanya sabtu minggu
ReplyDeleteisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat bu Linda pasti nggak jenuh
DeleteIni ditulis 2016 sekarang 2019, apakah pendapat ini masih sama mbak? :)
ReplyDeleteMenurut saya karena gaji di Jakarta banyak sih mbak. bisa 3x 4x UMR Jakarta. Tapi, kalau pinter bisnis di daerah enak banget sebenernya
ReplyDelete