Saturday, 23 July 2016

Anakku, Maafkanlah Ibumu.



Tanggal 23 Juli ini adalah hari anak nasional, hari untuk saya dan Naqib. Kenapa saya? Ya karena saya juga masih anak dari orangtua saya *nggak mau kalah*, berarti anak juga kan nyebutnya huehehe.. dan hari untuk anak saya, Naqib.

Saya mengakui masih banyak kekurangan yang terdapat dalam diri saya dan abahnya dalam mendidik Naqib, bisa jadi keterbatasan ilmu dan keterbatasan emosi. Ya.. sebagaimana manusia biasa, saya kerap kali marah dan membentak Naqib jika dia melakukan kesalahan yang tidak bisa ditolerir. Misalnya tidak sabar padahal saya sedang melakukan sesuatu atau apapun yang sedang membutuhkan proses. Tapi setelahnya saya menyesal, sungguh saya menyesal sudah memarahi Naqib. Terkadang sesaat setelah dia terlelap tidur saya memandangi wajah kecilnya, memegang tangan mungilnya dan menciuminya berkali-kali sembari berdoa, “Mudah-mudahan kamu jadi orang besar ya nak, maafkan ibu, ibu belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Ibu masih belajar mendidikmu, mudah-mudahan kamu melupakan yang buruk-buruk apapun yang ibu lakukan terhadapmu”. Sering setiap malam saya menutup tidur dengan berurai air mata berharap saya bisa jadi ibu yang terbaik untuk Naqib esok harinya.
Gara-gara ini pula jika Naqib melakukan suatu kesalahan dan dia mendapati wajah saya langsung berubah, dia buru-buru berkata “Ibuuu janan malah ibu.. janan malah ya, tenuuum” saya sampai berfikir, apakah yang ada di benaknya cuma satu ‘Emaknya ini tukang marah’, dan setelah saya ketahui, memarahi anak ini adalah salah satu tindak kekerasan dirumah, yang berakar secara turun temurun.


Saya ingat memang, saya lama menjadi anak tunggal, 14 tahun lamanya karena ibu saya keguguran 2 kali. Lalu setelahnya ibu saya mengangkat anak, dan tak lama adik bungsu saya lahir. Yang saya ingat di masa kecil saya, jika saya melakukan kesalahan, bapak tidak segan-segan membentak dan memarahi saya, bahkan saya pernah dipukul dengan tas kerjanya, pernah pula disabet dengan gesper miliknya. Tapi semarah-marahnya saya terhadap Naqib, saya sungguh tidak tega mengurungnya di kamar mandi, seperti yang dilakukan ibu saya terhadap saya, entah saya melakukan kesalahan apa dulu. Seingat saya, saya dililit dengan jarik dan dimasukkan ke kamar mandi, lama.. saya teriak minta tolong tapi ibu saya tidak perduli. Saat itu saya merasakan ketakutan yang luar biasa, takut ada tikus atau binatang lain, sebab mami saya memasukkan saya di kamar mandi belakang, kamar mandi para pembantu. Memori ini saya rekam sampai sekarang. Sedih, perih dan kecewa. Sebab adik-adik saya tidak pernah merasakan hal serupa yang saya rasakan, dimasa kecilnya, adik-adik saya tidak pernah merasakan kemarahan seperti yang dilakukan orangtua saya terhadap saya. Apa dampaknya?
Adik-adik saya tidak bisa membedakan mana salah dan mana yang benar. Anak angkat ibu saya tumbuh menjadi anak yang pembangkang, keras kepala, suka melawan, hidup semaunya sendiri, kadang saya seperti merasa terpaksa untuk pulang ke Bekasi karena saya malas bertemu si anak tengil ini. Sedangkan adik kandung saya yang bungsu, dia agak lebih baik, dia mau menuruti saya yang tukang omel dan ibunya, walaupun dia pendiam dan masih bisa dikendalikan dia tidak bisa mengatur hidupnya sendiri, misalnya ia tidak berani kemana-mana sendirian *padahal sudah SMA juga -_-‘*, pemalu sampai-sampai jika ada tamu dia tidak mau keluar kamar, dan tidak percaya diri. Bagusnya sih dia jadi nggak punya pacar dan fokus sama sekolahnya. Tapi sisi egoisnya kadang keluar, karena sudah sangat tergantung ibu saya yang tidak pernah marah, hidupnya terkesan main perintah dan ingin instan. Tapi si bungsu ini nggak berani merintah saya, soalnya kan galakan saya daripada ibu saya wkwk... Misalnya dia minta ambilkan sendok padahal dia bisa ambil sendiri, saya nggak segan-segan marah, “Ambil sendiri!! punya tangan punya kaki juga, males banget sih lu!” kalo ibu saya enggak, tanpa basa-basi beliau langsung ambilkan. Kecemburuan yang tidak bisa ditolerir, sebab masa kecil saya juga selalu diajarkan untuk melakukan semuanya sendirian. Namun yang saya acungi jempol, ibu saya tidak pernah memukul atau menyubit saya semarah-marahnya beliau.
Disini saya menarik benang lurus, terkadang saya bersyukur dididik dengan sangat keras. Saya jadi lebih bisa menghargai hidup, hidup saya lebih mandiri, struggling, dan saya lebih berusaha menghargai waktu. Tapi jika melihat kedepan dimana adik-adik saya dididik, seperti ada jenjang yang memisahkan didikan saya dan mereka. Namun berkat didikan orangtua saya, saya mengambil banyak pelajaran diantaranya :

  • Jangan membedakan didikan anak, sebab hasilnya akan beda-beda. Saya sudah membuktikannya dirumah antara saya dan adik-adik saya. Jika kita marah pada anak bungsu, marahlah serupa kita memarahi anak sulung, jangan sampai menimbulkan iri hati dan kecemburuan pada anak.
  • Jika kita marah, jangan gengsi untuk sering meminta maaf pada anak. Hal ini yang saya lakukan pada Naqib, “Maaf ya Naqib ibu salah. Ibu minta maaf ya nak, maafin ibu ya sayang” sebelum tidur juga saya minta maaf jika ada kejadian tidak mengenakkan di hari itu, “Naqib, ibu minta maaf ya kalau ada hal yang nggak enak hari ini. Ibu sayang sekali sama Naqib”, seperti itu. Sehingga anak juga tidak gengsi juga mengucapkan kata maaf dan mengungkapkan perasaannya. Sewaktu kecil saya sering kena protes “Kamu! Udah salah nggak pernah minta maaf” begitu kata ibu saya, setelah saya besar saya menyadari ibu saya gengsi mengucapkan kata maaf untuk hal yang kecil sekalipun, kecuali beliau melakukan kesalahan besar. Hal ini menjadi pelajaran untuk saya bahwa ucapkanlah kata maaf walaupun kita melakukan kesalahan kecil pada anak. Saya kemudian yang memutus rantai ini dan sering belajar mengucapkan kata maaf untuk Naqib.
  • Sering-seringlah memeluk dan menyentuh anak. Pelukan adalah bahasa yang paling dekat dan isyarat kita mencintai anak sepenuh hati. Jika tidak sedang marah, peluklah anak dan ciumlah ia. Tak apa ibunya jarang mendapatkan ini dari orangtuanya, yang saya ingat bapak saya memeluk saya erat pertama kali ketika saya menikah *sedih ya* dan ibu saya sering memeluk saya ketika saya kecil, beranjak besar pelukan ini semakin lama memudar, terkadang hanya idul fitri atau ketika saya pulang, sesekali saya yang inisiatif minta dipeluk. Oh ya pernah saya kesetrum paska melahirkan, ibu saya berlari lantas memeluk saya dan itu pelukan yang tidak bisa saya lupakan sangking indahnya *sungguh saya menangis menulis ini T_T* Dari sini saya belajar, pelukan itu penting. Maka saya usahakan memeluk Naqib setiap harinya. Kalau saya lupa, dia yang mengingatkan saya, “Ibu pewuuuk”
  • Dengarkanlah anak, apapun keluhannya. Dengarkan sampai selesai tanpa disela dan dijeda, biarkan ia mengeluarkan emosinya, berupa tangisan atau apapun. Jadikan orangtua tempat pertama ia mengeluarkan semua kekecewaan terhadap lingkungannya. Sebab saya tidak pernah mendapatkan ini, saya terbiasa memendam kekecewaan saya dibalik bantal, atau menulis diary, lebih parahnya saya curhat ke temen. Bagaimana bisa curhat saya baru cerita 1 kata, orangtua saya sudah ngomong seribu kata. Bikin ilfil dan bingung mau bertindak apa. Hal ini menimbulkan depresi berkepanjangan, saya sulit mengontrol emosi, untungnya sih saya nggak gila, untuuuuuung banget saya punya media sebagai tempat curhat, ya blog ini atau nulis di media lain. Maka saya tidak mau membuat anak saya depresi atau curhat pada temannya padahal dia punya orangtua dirumah. Saya selalu belajar berusaha mendengarkan apapun yang Naqib ceritakan, saya berusaha memutus rantai kekecewaan ini.
  • Hargai apapun usaha anak, jangan lupakan kata ajaib, ‘Terimakasih dan tolong’ sedari kecil saya hanya selalu mendengar kata Tolong saja, sampai sekarang saya tidak canggung mengucapkan kata itu. Bagaimanapun juga orangtua adalah sebaik-baik contoh untuk anak. Apapun yang sering diucapkan orangtua, pasti anak mengikutinya
  • Bagi saya, marah adalah manusiawi. Kita adalah manusia biasa bukan malaikat, terkadang saya merasa saya perlu marah agar anak saya bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang perlu untuknya dan mana yang tidak. Untuk yang satu ini saya banyak belajar dari orangtua, jika saya nggak mau dimarahi maka jangan bikin ulah begitu simpelnya. Tapi dengan catatan, orangtua boleh marah jika ia tidak merasa gengsi meminta maaf atau sering memeluk anak itu aja sih pointnya, jadi anak tidak merasa sakit hati walaupun kita semarah apapun. Saya memperhatikan ini pada Naqib, walaupun saya marah saya tidak segan meminta maaf dan memeluknya. Jadi walaupun saya mau marah bagaimana juga, Naqib kayaknya woles banget seolah dia merasa “Ah paling ntar nyokap gue bae lagi” jadi ini anak walaupun dimarahin juga, kayak nggak kecewa. Karena dia tau emaknya lebih sayang dibanding marahnya. Nah hal ini rupanya yang dilakukan mertua saya pada anak-anaknya. Dan saya memang bisa membuktikan hasilnya. Anaknya tumbuh jadi anak yang terbuka, penurut, dan bebas mengeluarkan ekspresinya.


Orangtua adalah sahabat terdekat, mereka adalah cerminan anak. Ketika kita mendapat perlakuan tidak menyenangkan di masa kecil, putuslah sebisa mungkin rantai itu dan ubahlah menjadi lebih baik. Apapun yang saya ceritakan diatas bukan berarti saya menceritakan keburukan orangtua saya, hal ini mudah-mudahan dapat menjadi pelajaran kita semua dalam mendidik anak di masa yang akan datang.


Selamat hari anak Nasional..

12 comments :

  1. Bener banget mba, rantai itu harus diputus. Meski harus berdarah2, cukuplah sampai di kita ^^ semangat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huuum mba, walau dalam mendidik anak kta sering teringat masa lalu yang kurang mengenakkan ya :)

      Delete
  2. setuju, perbaiki cara mendidik dan sbagai orangtua banyak belajar juga

    ReplyDelete
  3. karena saya agak galak sebagai ibu jd sy berusaha mengimbanginya dengan berbagai hal positif yg mendekatkan sy dg anak2 spt pelukan, ciuman, becanda, curhat, dan hal2 sederhana sejnis.
    smoga bs mengimbangi kegalakan sy hihi...
    pun tidak gengsi sy minta maaf sm anak2..tulus krn sy merasa bukan ibu yg terhebat tp sy belajar menajdi ibu yg baik..itu saja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mba, sama banget. Jadi anak bisa membedakan mana ibu yang marah mana yang enggak, kalau nggak begini anak bakalan ngerasa bener trs

      Delete
  4. Selamat Hari Anak Naqib sayang, semoga bahagia selalu dan sayang sama Orangtua. :*

    *Tulisan ini menggiring saya ke kenangan masa kecil juga, hihi.. antara tercekit dan bersyukur, apapun yang di lewati di masa kecil, orantua tetaplah orangtua, orang yang paling berjasa di dunia, walau trauma itu sedikitnya tetap ada. TFS ya mba :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mba, ternyata masa kecil kita sama ya :( *sedih

      Delete
  5. Replies
    1. Selamat hari anak juga, terimakasih telah mampir

      Delete
  6. Orang tua tidak bisa terus-terusan menyalahkan anak jika membuat suatu hal yang tidak di harapkan. Pembelajaran untuk banyak orang tua juga harys banyak2 berintropeksi diri

    ReplyDelete

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca catatan saya, semoga bermanfaat ya ^^
Mohon komennya jangan pakai link hidup, :)