Ini kelanjutan kisah saya yang merupakan
tugas dari suami, sebenernya ini bukan dia yang nyuruh, tapi lama-lama kok saya
baper ya gara-gara dia ngomongin pindah mulu tapi dianya juga dalam kondisi
galau. Walaupun suami saya bulet udah tekadnya buat pindah ke Bekasi, tapi
pindahnya nggak tahu kapan *ya dia aja masih galau :D*, masih rahasia juga dan
ini cuma Allah aja yang tau, ya iya bisa saja saat ini suami bilang setahun
lagi, tapi Allah menakdirkan 2 tahun lagi *doeeeng, suamiku langsung pingsan
:p*.
Seperti terlempar ke masa lalu ketika
dua minggu setelah menikah saya pergi sendiri menyusul suami pergi ke Ambon,
perjalanan yang biasa menurut saya, karena sudah terbiasa pergi kemana-mana
sendirian dan sudah biasa jauh-jauhan dari keluarga. Pengalaman merantau dan
hidup dengan keluarga di mana saja membuat saya terlatih mandiri dengan
terpaksa :D
Di Ambon, saya kemudian menjalani
hari-hari menjadi istri baru. Saya belajar menjadi istri seorang diri, tanpa
campur tangan orangtua juga mertua. Jadi jika kami punya kesalahan tidak serta
merta salah satu dari orangtua kita membela anaknya, semuanya kita selesaikan
sendiri. dan ini yang kemudian mendewasakan kita.
Sahabat-sahabat Naqib yang juga anak rantau |
Bukan tanpa ujian kita hidup di Ambon,
mulai dari seringnya mati listrik berkepanjangan. Bayangin aja, dulu mati lampu
bisa 8 jam sehari dan ini bisa 3x seminggu, sangat menyebalkan sekali ya. Saya
ingat, dulu mati listrik seringnya di hari sabtu. Kalau sudah begini suamiku
pasti akan ngajak saya untuk sekedar menghabiskan waktu ke luar. Makan cotto
Makassar di cotto Anda, jalan-jalan di A.Y Patti, atau sekedar baca buku di
gramedia Amplaz. Dulu kita belum punya roda dua, kemana-mana pasti pergi
ngangkot. Atau jika malas jalan kaki, kita akan berdua naik becak untuk pulang,
di depan patung Pattimura saat becak kami melintas suamiku sempat berkata,
“Kita di Ambon loh yang ini, entah
beberapa tahun lagi kita dimana, nikmati aja ya..” ya saya sih kemanapun suami
melangkah ikut aja.
Bakalan kangen sama pantai ini T_T, |
Pernah pula kita harus menebalkan muka,
lantaran mandi di tempat tetangga karena air di tempat kita sudah habis. Jangan
bayangkan air bisa mengalir setiap hari, di Ambon air ngalir 2 hari sekali
kadang pernah pula tak ngalir selama seminggu. Kalau sudah begini, biasanya
saya mandi di tempat bu Har yang punya penampungan lebih besar dari rumah saya,
beliau sekarang tinggal di Bogor. Bu Har lebih tua 2 tahun dari ibu saya, dan
wajar beliau seperti menganggap saya anak sendiri. pernah suatu hari bu Har
memanggil saya kerumahnya, rumah beliau
hanya beda gang dari rumah saya,
“Ada apa bu?”
“Saya inget, mba Manda suka banget otak
sapi. Saya tadi kepasar, saya beliin. Nih saya masakin special buat mba Manda.”
Di tanah rantau, tetangga adalah saudara yang paling bisa mengerti kita. Saya
terenyuh dan nggak bisa berkata-kata saat itu selain bilang, “Makasih bu, udah
inget saya” T_T. pengen nangis tapi malu :D, saya ingat pula ketika hujan tanpa
jeda mengguyur kota Ambon dan ada hujan angin yang sibuk menerbangkan atap-atap
rumah kita. Saya ketakutan, saat itu,
saya hanya sendiri di sana, suami sedang tugas. Hanya tetangga yang bisa menampung
saya yang butuh teman curhat, lalu saya menginap di rumah teh Rini dengan Lina
yang suami-suami kita sedang dalam satu team bertugas. Kami bertiga sama-sama
dari jawa barat. Malam itu menjadi malam yang sangat panjang karena anak-anak
teman saya sibuk menangis dan angin masih bergemuruh nakal di langit.
Hampir 2 tahun saya tinggal di tanah
raja-raja ini. banyak kisah sedih, haru, senang, bahagia kita jalani berdua,
menikmati hari-hari menunggu buah hati yang tak kunjung menemani. Saya ingat
ketika suami pergi tugas nyaris 2 minggu, saat itu saya belum punya laptop,
belum punya smartphone, dan teman saya hanya buku dan TV, saya nyaris seperti
orang gila, bingung mau menghabiskan waktu seperti apa. Hanya berteman sepi,
sunyi dan sendiri.
Bakalan kangen saat-saat traveling, dan blusukan bareng di Maluku |
Di tahun
ke dua pernikahan, suami mendapat beasiswa kuliah dan ditempatkan di Makassar.
Sebagai seorang istri, wajiblah saya menemani suami kuliah di sana. Tapi masih
mending sih, di Makassar kemudian saya bisa membeli leptop dan mulai mengisi
waktu-waktu luang saya sembari suami kuliah. Di bulan ketiga kami tinggal,
sebuah gerakan mungil mengisi perut saya. Anugrah yang saya tunggu selama 2
tahun akhirnya datang juga. Karena tak tega melihat saya nampak seperti orang
depresi *ya, siapa sih yang nggak stress. Terus-terusan di kamar nggak bisa
ngapa-ngapain* saya kembali ke Bekasi, untung suami libur semester saat itu.
Saya hamil, melahirkan dan membesarkan Naqib sampai usia 22 bulan disini, dan
saya terus berdoa.. ‘Mudah-mudahan
suamiku belum pindah dulu. Saya masih ingin tinggal di Ambon T_T, pengen ngajak
Naqib ngerantau, merasakan bagaimana perjuangan emak bapaknya disini’ sebab
suamiku sudah mendapat semacam intimidasi dari banyak orang, “Hayoo pindaaah…
hayo pindah, emangnya enak jauh-jauhan dari anak istri”, Aduh ya Allah,
kejamnya orang-orang ini. Mereka nggak tau, hati saya masih tertinggal di
Ambon. Suami akhirnya lulus kuliah dan harus tinggal dan mengabdi dulu di Ambon
ini sebagai balas jasanya kepada instansi yang sudah menyekolahkannya sampai
lulus.
“Bah masih lama di Ambon?”
“Ya sekitar tiga tahun lagi”
“Saya pengen ikut, boleh ya” sahutku
memelas. Karena menurut hukum islam. Tidak baik bagi seorang laki-laki yang
sudah menikah hidup sendiri.
“Tunggu ya, mudah-mudahan abah ada
rezeki, bisa bawa nayang *panggilan
sayang* dan Naqib kesini”
Bakalan kangen dengan saudara-saudara saya ini, saudara sesama perantau |
Dengan membulatkan tekad, suami akhirnya
membawa saya untuk tinggal kembali ke Ambon, saya membawa Naqib yang saat itu
belum genap 2 tahun. Karena awalnya suami saya belum terfikirkan untuk membawa
saya kembali ke sini karena susahnya mencari kontrakan dan keterbatasan dana
tentunya. Tapi karena berkumpul dengan keluarga adalah bagian dari ibadah,
Allah memudahkan semuanya.
Habis lebaran saya hijrah di kota ini
kembali. Menjajaki tiap langkah di kota Ambon seperti mengenang perjalanan
sekian tahun bersama suami. Saya suka bercerita pada Naqib, “Qib, dulu abah
sama ibu suka naik becak lewat jalan ini berdua. Sekarang kita bertiga”.
Sekitar 3 bulan kita menetap di Ambon,
suami membeli kendaraan roda dua. Memudahkan akses perjalanan yang sebelumnya
harus kita tempuh 400 meter untuk keluar dari rumah menuju jalan besar yang
tersedia angkot, kini jejak itu kembali menambah torehan. Saya pasti akan rindu
masa-masa dimana saya jalan berdua menyusuri kota Ambon dengan Naqib, inget
banget pernah ngejar-ngejar makan patita di Diponegoro yang ternyata sudah
habis. Lelah tapi saya senang bisa ngajak Naqib jalan-jalan. Ingat pula ya nak
kita pernah heboh selfi-selfi di Lapangan Merdeka, main pasir di pantai liang, main mobil di
MCM. Kota ini memang tidak semegah ibukota dalam memberikan fasilitas, tapi
ketika kamu di tanah kelahiran selalu menyebut Ambon dan selalu ingin kembali
ke sini, “Bu, tapan kita ke Ambon. Natib mau pulang.” Ambon pun sudah merebut
setengah hatimu nak T_T
Di tempat yang baru, lingkungan baru
tentu saja saya mendapatkan saudara baru pula. Saudara baru di tanah rantau
seperti oase di gurun pasir, mereka tempat saya berbagi, mereka pelipur lara
saya, mereka menghibur, tempat kita
saling menguatkan di tanah rantau. Tiap sore adalah waktu yang paling saya
tunggu untuk sekedar mengobrol membicarakan kuliner baru, harga popok atau
sekedar menjaga anak sambil menyuapinya.
Waktu masih berdua dan tentunya masih sama-sama kurus hahaha.. |
Menjelang bulan-bulan kepindahan saya,
saya merasakan ini seperti detik-detik penantian keputusan hidup. Antara rela
dan tidak rela, ikhlas dan harus ikhlas. Tapi inilah bagian dari akdir hidup
yang harus saya jalani, ini bagian dari skenario sang khalik. Siap tidak siap,
ikhlas tidak ikhlas toh semua pasti akan berlalu. Sampai suami saya berkata, “
Kalau kita pindah, nanti kita agendakan kemari. Napak tilas jejak langkah kita
dulu” janji ya bah T__T….. bukannya kota ini juga sudah seperti rumah keduamu
setelah Bogor?
^_^ |
Saya tidak bisa melupakan kota ini,
Ambon manise, kota yang banyak menyimpan kenangan dengan teman, sahabat,
saudara dan cinta. Air mata, tawa dan bahagia J
Terimakasih Banda dan Seram, pernah
menjadi bagian dalam perjalanan kisah hidup saya. Saya tidak akan pernah bisa
melupakan jejak langkah saya disana, peluk hangat.
Ambon
Manise, tempa beta putus pusa e.. *tapi pusar saya nggak
putus disini* :D
Pasir
putih haluseee, gunung deng tanjong beta seng lupa ee..
Ambon manise, 1 september 2016,
awal bulan
yang saya tidak ingin bulan ini berakhir selamanya.. Maaf saya lagi baper..pindahnya kapan sedihnya udah jauh-jauh hari :D
Cantiknya pantai disana y mba, pantas saja mba baper hebat hehehe separuh hatinya sudah tertambat di Ambon.
ReplyDeleteBtw qu ko terharu jg y pas baca Bu Har beliin otak sapi dan dimasakin special senang bgt punya tetangga begitu hehehe
Iya nih mba, saya suka gagal move on kalau liat pantainya :D saya kan pecinta pantai hihihi
DeleteHuum, bu Har baik banget, saya suka dibekelin kalau main kerumahnya, dijamin kenyang deh :D
Wow, bening banget pantainya. *maaf gagal fokus.
ReplyDeletehuum.. pantai kayak gitu di Jakarta sebelah mana ya, ada yg tau? :p
DeleteAku baca ceritanya dari awal sampe habis loh Mak, ternyata ngerantau tuh nggak sedih-sedih banget yaaa. Ini malah lebih sedih pas mau kembali ke kota kelahiran yaaa. Heheee. Dan kayanya ambon keren banget deh sampe mak Manda jatuh cinta giniiii.Semangat terus ya Maaaak :D
ReplyDeleteSoalnya saya sudah biasa merantau mba, jadinya mau merantau kemana pun ya jadi kayak cuma pindah rumah tok. Gimana nggak sedih disini temen2 saya baik2 banget nggak ada yang sibuk ngurusin urusan pribadi saya, makannya saya jadi betah mba,. makasih ya mba semangatnya T_T
DeleteEmang baper ya mba, klo kita dah betah disuatu tempat kemudian tiba2 harus terpisah, huhu... tapi dimanapun, semoga yg terbaik ya mba, welcome to jekardah *eh *girang 😄
ReplyDeleteJakerdah keleus :p, huum amin.. moga saya bisa betah dimanapun berada
DeleteEh busyet listri mati sampai 8 jam ??? ini ngerusak isi kulkas hehehe
ReplyDeleteIyaaa bener, kulkasku jadi sakaratul maut gegara seringnya mai listrik..
Deletebanyak banget tetangga saya yang merantau ke ambon Mba, kalo lebaran saya akrab banget sama kata "beta, ose, katong, kamorang" :)
ReplyDeleteOh ya, bukan kamorang kali mba, kitorang yg bener :D
Deletetapi kitorang ini tuh bahasa papua dan nggak akrab di Ambon sebenernya
Waduh, ini propinsi dan kota yang belum pernah saya kunjungi. Keindahan dan banyak cerita Ambon yang sudah menarik-narik saya datang ke sana. Baca kisah ini, keinginan itu kembali datang. One day, saya pasti akan ke Ambon
ReplyDeleteAmiiiin... ayo ke Maluku, kita ketemuan sebelum saya pindah niiih
DeleteBagus yaaa mba view nya. Pantai. Jadi ternyata sering mati lampu gitu mba. Berarti nanti akan segera pindah lagi yaa, ada serunya ya mba pindah2 tempat, banyak pngalaman
ReplyDeleteIya saya Insya Allah mau pindah tahun depan huhuhu... harus kuat mental mba
DeleteJadi baper juga baca ceritanya, ambon merupakan salah satu kota yg ingin saya kunjungi awalnya tapi tiba2 ada temen yang ngajakin suami buat merantau disana , perlu rekomnya mba selain keindahannya
ReplyDeleteApa ya, jalannya ga macet, udara bersih, banyak ikan hehe.. Ga ada maling yg utama..
DeleteApa ya, jalannya ga macet, udara bersih, banyak ikan hehe.. Ga ada maling yg utama..
Delete