Masa-masa tempaan ini juga
masih saya alami ketika sekolah dulu, ketika guru lelaki saya menggampar habis
teman-teman SD saya yang ketahuan merokok, sambil memaki guru saya tak lepas
melemparkan tendangan kasar ke arah teman-teman saya dengan mata marah,
"Kamu pikir kamu jantan
merokok!! Kamu pikir kamu hebat merokok hah! JAWAB!!!" plaaaak!
Lelaki dari Tidore hal 28 |
Tamparan keras melayang, jawab
tidak jawab mereka ditampar, pipi teman saya lebam. Mereka tak melawan, mereka
menunduk malu, mereka menangis entah malu dan menyadari akan perbuatannya atau
malu dipermalukan didepan teman-teman sekelas. Setelahnya mereka tidak pernah
dendam apalagi membelas dendam, mereka tetap santun dan patuh karena mereka tau
mereka dipukul karena mereka salah.
Orang tua mereka datang
esoknya, bukan menuntut balas dan melaporkan ke Komnas Perlindungan Anak yang
saat itu entah sudah ada atau belum, tapi mereka datang sambil menahan malu,
malu tidak bisa mendidik anak-anak mereka dengan baik. Tidak ada sumpah serapah
atau saling hardik yang saya dengar dari ruang kepala sekolah. Yang ada hanya
ungkapan malu dan kata-kata maaf yang keluar dari mulut orangtua mereka. Saya
yakin, dirumah anak-anak itu pasti semakin 'disiksa' orangtuanya.
SMP pun demikian, saya masih
melihat teman-teman saya hormat pada guru. Banyak guru yang tak segan
melemparkan kapur ke arah kami dengan kasar atau memukul tangan kami dengan
mistar kayu sampai membekas jika kami tak memperhatikan mereka, ada pula yang
main tangan dan tak segan membentak jika kami nakal dikelas, merekalah guru-guru
kami dari Medan sana, orang-orang keras berdedikasi tinggi. Apakah kami dendam?
Tidak, kami justru merindukan masa-masa itu. Masa-masa tempaan yang membuat
kami akhirnya bisa menantang zaman, guru-guru saya dari Jawa jangan dikira
lemah lembut, nggak jauh beda galaknya dengan yang dari Sumatra sana. Pernah
saya dicubit guru dan mengadukan pada ibu sepulang sekolah,
"Mami tadi aku dicubit
guru, nih sampe biru"
"Kenapa dicubit? Kamu
ngobrol? Ga ngerjain PR? Apa ga merhatiin?"
"Aku ngobrol, habis aku
ngantuk mi"
"Siapa suruh
ngobrol!" Dan merentetlah omelan ibu saya yang kejam terdengar ditelinga.
Menyesal saya mengadu saat itu, sudah dicubit guru kena omel pulak.
SMA pun demikian, tak pernah
saya mendengar di era saya sekolah ada kasus lapor melapor pada pihak terkait
sebab pengaduan anak murid. Saya hanya melihat, teman-teman saya yang patuh
pada guru dia berhasil sekarang, sedangkan mereka yang membangkang entah dimana
rimbanya.
Bapak saya pernah berkata,
"Sekolah yang bener nduk,
sekolah itu ga mudah, Papi dulu harus jalan berkilo-kilo meter untuk ikut ujian
nasional. Berangkat subuh, dan pulang menjelang sore. Pulang masih harus
membantu si mbah di sawah. Sekolah tanpa alas kaki dan baju lusuh" saya
kemudian melihat bapak saya adalah orang yang pintar, sederhana dan jujur
sampai saat ini menularkan kegigihan pada saya. Mendengar cerita mertua pun
demikian, sama sedihnya, beliau masuk SD di usia belasan tahun karena papa
tidak ingin mundur dari kemajuan zaman. Papa kecil melihat lingkungannya berada
dalam keterbelakangan ilmu, ia melihat laki-laki dewasa banyak bekerja menjadi
buruh kasar sebab mereka tak berpendidikan. Stereotip kampungnya, cukuplah bisa
baca dan tulis yang penting tidak bodoh, papa melihatnya dengan miris. Papa
tidak ingin sepeti mereka, bekerja menjadi buruh hanya menyiksa kehidupan dan
generasi mereka. Di usia 11 tahun papa memutuskan sekolah. Kisah perjuangannya
menempuh pendidikan tak bosan-bosannya diceritakan pada anak-anaknya sampai
teraliri semangat perjuangan orangtuanya. Papa berhasil menjadikan anak-anaknya
generasi yang santun, menghargai ilmu dan punya semangat hidup. Suamiku, sering
menularkannya padaku. Yang jelas saya bersyukur punya pasangan hidup yang
sepemikiran dalam mendidik anak. TIDAK
OTORITER namun tetap memberi semangat untuk mencari ilmu.
Ya, sebab ilmu adalah barang
mewah yang harus ditempuh dengan keringat dan air mata. Dengan ilmu kita bisa
menjelajah dunia yang kita mau, tetapi ilmu tak serta merta bisa kita raih
tanpa bantuan guru. Dan penghubung antara kita dengan ilmu haruslah patuh pada
guru, dengan kesantunan pada guru ilmu bisa mengikat kita. Anak-anak pintar
tidak mau mengadu pada orangtua ketika mendapat 'siksa' karena bagi mereka
mengikat ilmu itu sulit, ilmu itu mahal, bukti kepatuhan pada guru merupakan
keberkahan dan doa-doa guru mustajab bagi anak-anak yang patuh.
Orangtua dulu mempercayakan
anak kandungnya dididik orangtua kedua di sekolah karena mereka yakin, ada ilmu
alam yg tidak bisa mereka ajarkan dirumah.
Saya semakin sadar, kenapa
anak-anak di pedalaman sana tetap semangat bersekolah walaupun jembatan putus
rintangannya, walaupun harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya, walaupun
harus menyebrang sungai berarus deras, karena mereka bosan hidup susah, mereka
ingin mengubah nasibnya dengan memiliki ilmu itu adalah satu-satunya jalan bagi
mereka membuka tabir kesusahan, apakah mungkin anak-anak kota yang tergerus
kemajuan dan kemudahan akses seperti merasa tak punya tantangan untuk berjuang?
Seperti tidak ada yang ingin mereka perjuangkan minimal keringat orangtua
mereka walaupun orangtua mereka dalam kondisi mampu
Saya semakin yakin, rendahnya
minat baca di Indonesia karena mereka tidak merasa ilmu harus dihargai dengan
nilai yang tinggi, apalah artinya buku delapan puluh ribu berisi motivasi
sukses berbisnis jika dibanding ilmu yang penulisnya berikan, ia harus menulis
berhari-hari, memikirkan kata-kata yang menarik untuk dibaca dan dimengerti,
sampai rela bergadang. Tidak sampai disana, ia harus 'saling sikut' dengan
penulis lain agar mendapatkan hati penerbit. Lalu kau bilang buku harga delapan
puluh ribu mahal? Seharusnya seorang penulis tidak dihargai serendah itu
Hei adik-adik, lihat ini semangat mereka bersekolah! sumber : kompas |
Sejenak fikiranku terlempar
jauh di era ini, era dimana anak-anak sangat manja mengadukan perbuatan gurunya pada
orangtua mereka, padahal hanya mendapatkan cubitan kecil.
Dan parahnya orangtua seperti
tidak lagi menganggap guru-guru mereka memberikan pelajaran seperti itu agar
anak mudah dikendalikan, anak-anak tidak cukup hanya dilembutkan, sesekali
mereka harus tau kata marah sebagai alat tempaan mereka di masa depan. Manja
sekali, semacam anak balita yang tak boleh mendapat marah. Anak saya saja sudah
bisa membedakan mana yang benar mana yang salah diusianya yang ke 3 tahun sebab
saya sering marah jika salah, lembut jika memang dia benar. Tidak berpihak pada
salah satunya, dilembutin terus atau dimarahi terus.
Bagi mereka ilmu sudah tidak
lagi mahal, yang mahal adalah gadget, konser musik, motor, fashion, narkoba, persaingan
barang antar teman, gaya hidup bebas, atau pesta berlarut-larut sampai pagi.
Mereka menganggap mencari ilmu bukan lagi kewajiban tapi hanya sekedar menjadi
kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan.Mereka tergerus kemoderanan zaman,
dimana semakin banyak sekolah-sekolah bertebaran dan orangtua latah hanya
mencari yang terbaik karena ilmu sekedar bisa ditukar dengan uang. "Saya
sudah bayar mahal, anak saya harus diperlakukan sebaik mungkin". Mereka
hanya menilai uang untuk membayar sekolah, menggaji guru, ikut ekstrakulikuler,
tapi tidak merasa uang mereka sebetulnya tidak cukup untuk membayar ilmu yg
diberikan oleh guru bagi anak-anak mereka. Zaman membuat uang mudah dicari tapi
ilmu semakin tak dihargai. Mungkin inilah Indonesia mundur beberapa langkah
dalam hal pendidikan. Seharusnya gaji guru jauh lebih besar dari gaji seorang
presiden, sebab siapa yang bisa menjadikan presiden kalau bukan guru? Nah!
Kakak Ipar dan mertua saya
yang seorang guru pernah berkata, "Anak-anak sekarang sudah tidak punya
adab terhadap gurunya, mereka asik mengobrol sementara guru lewat di depan
mereka, mereka tidak menunduk dan berebut cium tangan ketika menjumpai guru
dijalan. Mereka menganggap guru seperti teman mereka, yang ketika berpapasan
tidak pantas ditegur atau disapa bahkan dicium tangannya. Mereka mendongakkan
kepala dengan congkak ketika berbicara dengan guru" padahal di jaman dulu,
anak-anak jalan menunduk sampai tulang-tulang punggung mereka menonjol jika
bertemu guru, mereka saling berebut mencium tangan mencari keberkahan di
dalamnya, bahkan berebut meminum bekas guru agar ilmunya tertular pada mereka.
Tapi di jaman ini semua itu seperti hilang seperti asap yang membumbung tinggi.
Guru-guru terhempas harganya di depan anak murid yang membicarakan gadget baru
dan fashion model terkini sambil terbahak-bahak.
Tapi tunggu! Masih banyak
anak-anak yang menghormati gurunya, karena ilmu alam tak akan didapat tanpa
adanya guru, ilmu tak bisa diserap tanpa
kepatuhan pada guru. Dan masih banyak pula orangtua yang mempercayakan guru
dapat mendidik sebaik-baiknya anak-anak mereka, mendukung guru-guru sepenuh
hati dan tidak begitu memanjakan anak-anak mereka sebab perbuatan guru-guru
mereka. Sebab ilmu sebetulnya tidak ternilai dengan SPP yg sudah terbayarkan..
Renungan malam hari, Ambon
manise 271016
Artikelnya bagus. Saya suka
ReplyDeleteTerimakasih
DeleteTerpujilah wahai engkau ibu bapak guru...... Saya paling suka hymne guru itu. Dalam banget maknanya. Miris banget membaca berita lapor melapor antara guru dan orang tua murid, kejadian yang sepertinya dulu tidak pernah terjadi. Sedih
ReplyDeleteSama mba, saya juga sangat sedih
DeleteMungkin dunia sudah terbalik mbak, dan ukuran "baik" dimata orang sekarang adalah uang.
ReplyDeleteBagaimanapun ilmu kepengasuhan dari luar negeri sono memang masih diserap setengah-tengah disini. Jadi ya gitu, hasilnya setengah-setengah juga.
Pulang-pulang jadi liberal dan sekuler dah.
Deletebaca ini saya jadi bersyukur kasihan ya anak2 yang diluar jawa sana ...betapa untuk belajar saja mereka harus berjuang. berjalan sampe ratusan km. tfs ya mbak
ReplyDeleteYa mba, sama2 :)
DeleteTerharu bacanya. Realitanya masih banyak guru yg belum sejahtera ya Mbaaa :(
ReplyDeleteIya mba, miris liatnya. Padahal siapa yg jadikan orang hebat kalau bukan guru
DeleteYaa Allooh meleleh air mata saya membaca artikel ini
ReplyDeleteLaulal murobbi maa aroftu robbii
sedih ya kak kalau inget jasa guru2 kita :(
Delete