Ngedongeng dikit boleh ya? Jadi,
bokap itu kan PNS, sudah sewajarnya untuk mengabdi pada Negri, Pegawai Sipil
itu harus rela dipindah-pindah, walaupun nggak semua PNS sih ya, tapi yang saya
alami disini karena bokap PNSnya di Kehutanan, mau nggak mau pindah-pindah
kayak pegawai lain. Setelah nikah, nggak disengaja saya nikah lagi sama orang
Kehutanan :D, yaah alamat pindah-pindah lagi deh, dan bener kan saya akhirnya
harus berjuang seperti halnya nyokap dulu ikut bokap kemana-mana. Hihihi.. jadi
ada 5 kota yang pernah saya tinggali selama hidup saya mulai dari kecil,
diantaranya :
1.
Bekasi
Saya lahir di Bekasi, sebelumnya
bapak-ibu saya menikah di Balikpapan kemudian hijrah ke Bekasi. Di Bekasi saya
sempat menamatkan TK dan bersekolah SD sampai kelas 2. Kemudian kami semua
pindah ke Kalimantan. Tepat ketika kenaikan kelas 2 SMA, orangtua pindah lagi
ke Bekasi, saya menyusul di kelas 3 SMA karena tidak kerasan dengan didikan
kakak sepupu yang terlalu agamis, dulu saya masih mbeling sih, mungkin kalau
sama-sama sudah hijrah jadi nyambung hehe..
ndilalah di semester 3 atau 5
bangku kuliah *saya lupa persis*, orangtua pindah lagi ke Balikpapan
*duh muter-muter situ aja ya*, karena kuliah, ya saya nggak mungkin pindah
kampus kan ya, akhirnya saya ngekost. Nggak nyangka di semester akhir menjelang
kelulusan S1, orangtua balik lagi ke Bekasi dan menetap sampai sekarang saya
berumah tangga.
2.
Samarinda
Dari Bekasi saya pertama kali
pindah ke Samarinda, kalau tidak salah saya hanya tinggal 15 bulan disini, tetapi
saya sempat menamatkan kelas 3 dulu, lalu pindah ke Balikpapan kemudian. Di
Samarinda saya lumayan dapat teman akrab dibelakang rumah, namun suasana rumah
yang horor dan berhantu membuat saya tidak berani kemana-mana pada akhirnya.
Yah, selama 15 bulan tinggal di Samarinda ya gitu-gitu aja, nggak ada yang
asyik, selain masih tinggal bertiga aja sama orangtua, keluarga saya jauh
banget tinggal dari rumah saya.
Dibelakang itu jembatan Kutai Kartanegara waktu belum roboh |
3.
Balikpapan
Setelah dari Samarinda, keluarga
kami pindah ke Balikpapan. Saya menamatkan SD, SMP dan SMA sampai kelas 2
disini. Cukup lama sih tinggal di Balikpapan, sekitar 9 tahunan, tapi sayang,
orangtua saya nggak hoby traveling, jadi ya saya tinggal di Kalimantan
gitu-gitu aja, nggak pernah diajak jalan sampai ke pelosok, menyusuri serunya
hutan Kalimantan gitu atau jalan-jalan ke Banjarmasin dimana banyak sekali
keluarga yang berkumpul. Ya standar aja jadinya, yang saya tau di Balikpapan
cuma pantai, penghasil minyak dan hutan. Untungnya bapak kan kerja di
kehutanan, jadi saya sering diajak gathering ke KM.10 tempat para primata
berkumpul atau ke KM.32 dimana Canopy Bridge menjulang sangat indahnya. Tapi ya
gitu-gitu aja, standar haha.. orangtua saya nggak menyajikan petualangan seru
untuk anaknya. Padahal ya, kalau orangtua saya hobby banget traveling, pasti
saat itu seru sekali saya jadi punya banyak pengalaman
4.
Ambon
Seminggu setelah menikah, saya
langsung menyusul suami ke Ambon. Kota di Timur Indonesia yang pernah terlibat
konflik sara beberapa tahun lalu, tahun 2010 saat itu masih hangat-hangatnya
isu sara, Ambon belum pulih betul dari rasa sakit akibat konflik walaupun sudah
10 tahun berlalu. Petugas keamanan masih berjaga-jaga di titik-titik rawan,
pokoknya horor aja rasanya. Tapi kemudian saya terbiasa, menikmati hari-hari
yang tanpa macet, polusi, menikmati indahnya laut biru, pemandangan
berbukit-bukit, saya kemudian jatuh cinta dan Ambon seperti cinta pertama dan
terakhir yang sulit saya lupakan. Seperti tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan, saya puaskan keliling Maluku agar pengalaman hidup lebih banyak.
Sekitar 18 bulan tinggal di sini
saya pindah ke Makassar, suami dapat beasiswa di UNHAS. Setelah kuliah selesai
saya kembali lagi ke Ambon dengan membawa Naqib. Kalau dihitung-hitung, mungkin
nyaris 4 tahun saya pernah mencicipi tinggal di sini. Semua kenangan saya
tinggalkan disana. 4 tahun bersama di Ambon, saya pindah lagi ke Bekasi.. Yaaah
Bekasi lagi Bekasi lagi wkwk.. eh tapi kamu kudu bawa paspor loh kalau mau main
ke sini :D
Ambon.. seng bisa beta lupa |
5.
Makassar
Di Makassar saya nggak lama sih,
hanya 3 bulanan, karena saat itu saya positif hamil. Jadi daripada saya stress
nungguin suami dan tidak bisa masak *karena tinggal di dalam kamar saja* saya
dipindahkan lagi ke Bekasi, sampai anak saya lahir dan berumur sekitar 18
bulan, kemudian saya menyusul suami pindah ke Ambon. Di Makassar saya sempat menjelajah
sampai Enrekang dan Bantaeng, kota kecil di pelosok Makassar yang kesana itu
harus siap pantat tepos. Karena Makassar sudah mengarah ke Timur ya jadi
orang-orang yang saya temui tidak jauh-jauh dari orang-orang Timur, dan
bahasanya pun tidak asing saya dengar karena 9 tahun di Balikpapan pun banyak
sekali orang Makassar yang tinggal disini. Jadi nothing special tinggal disini,
berasa tinggal lagi aja di Balikpapan hehe.. :D
jaman masih kurus :D |
Kalau dibilang, pindah-pindah itu
menyenangkan, karena dapat banyak pengalaman baru, tapi yang nggak enaknya
harus sedih-sedihan sama kerabat yang setiap hari sudah terbiasa cerita. Tapi
balik lagi, yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan, jadi ya.. saya anggap
inilah ujian hidup
Mba Manda, suamiku PNS, yang bisa sewaktu-waktu mutasi. Awal nikah ikut ke suami sampai punya anak dua. Setelah itu karena sering pindah dalam waktu dekat, kami memutuskan untuk punya rumah di kampung. Biarlah suami yang pindah, asal setiap Minggu masih ketemu.
ReplyDeleteSenengnya pindah2 itu bisa menikmati suasana yang beda-beda. Susahnya pas nyari sekolah, belum dapat rumah.
Amanda pintar ya, bisa menyesuaikan diri di setiap kota. Tabiatnya orang Bekasi dengan orang Ambon tentu beda jauh. Saya salut dengan orang-orang yang bisa cepat beradaptasi begini. :)
ReplyDelete