Sunday, 13 January 2019

Kenapa Perempuan Butuh Aktualisasi Diri Setelah Menikah?




Ini beberapa kisah yang saya rangkum ketika saya bertemu dengan teman-teman, kerabat, dan keluarga, kisah-kisah ini saya samarkan identitasnya agar yang diceritakan tidak merasa malu kalau saya jadikan objek dan pembelajaran sesama perempuan. Soalnya perempuan kan suka baper nggak terima, bisa-bisa saya kena semprot kalau dirinya saya ceritain di media sosial.

Di jaman now, ketika banyak perempuan-perempuan bermulut pedas saling menyindir, menghina dan mencaci sesama jenisnya,  ketika, itu pula saya merasa betapa pentingnya seorang perempuan melakukan kegiatan yang dapat menyita waktunya agar energinya tersalurkan secara positif. Tidak hanya energinya tetapi juga fikirannya. Sebab banyak perempuan yang bingung harus apa ketika beranjak dewasa bahkan setelah menikah, nah dengan cerita-cerita dibawah ini mudah-mudahan bisa membuka mata dan wawasan kita sesama perempuan. Sebab menjadi sibuk saja, ternyata belum bisa membuat kita tetap waras dan berfikiran positif. Lalu aku kudu piye? Plis dibaca sik, ben faham yo..

Kisah 1
Beberapa tahun kemarin saya sempat ketemu temen cewe yang mau nikah, pas kita kumpul-kumpul gitu kita titip pesen agar selalu menjaga silaturahmi lewat media sosial, yah habis kalau jauh-jauhan kan yang paling bisa diandalkan ya media sosial. Eh nggak disangka calon suaminya bilang gini, “Dia nanti saya larang punya media sosial, takutnya malah doyan curhat atau ngeliat hal-hal yang nggak jelas” kita temen se-ganknya langsung melongok, buset.. baru jadi calon suami saja begini, bisa-bisa istrinya nanti dikurung kali ya nggak boleh kemana-mana setelah nikah :D


Kisah 2
Saya punya sahabat di FLP, jadi waktu di FLP dia termasuk anak yang sangat aktif. Kegiatan nggak pernah absen, pokoknya saya selalu ketemu dia. Yang jelas kalau nggak ada ini anak berasa sepi, dia juga pekerja yang keras, karena sempat punya jabatan bergengsi di kantornya. Kemudian doi merid. Dalam perjalanannya saya seperti kehilangan dia, pasalnya dia jadi jarang kumpul dan menghilang seperti ditelan bumi. Ternyata seiring waktu berjalan doi curhat, suaminya melarang dia untuk ikut banyak kegiatan, dia harus dirumah, ngurus anak, ngurus suami, pokoknya dia nggak boleh eksis. Entah suaminya cemburuan saya nggak ngerti, pokoknya dia dilarang aja. Tapi dibalik itu suaminya romantis, temen saya ini selalu dibelikan apa yang dia butuhkan tanpa dia minta. Tetap hatinya kosong. Tapi ya itu dia nggak boleh kerja lagi diluar rumah bahkan ikut kegiatan diluar rumah.

bayangin, hari-hari nemu orang-orang kayak gini tiba-tiba harus resign?


Kisah 3
Setelah menikah, saya bertekad ingin mendedikasikan diri saya untuk suami, saya nggak mau bekerja. Hanya ingin dirumah, mengurus anak, mengurus suami, rumah dan pekerjaan lainnya. Ya.. semata-mata takut nggak bisa bagi waktu gitu. Suami memang tidak melarang saya untuk bekerja, saya boleh bekerja tetapi jangan juga terlalu sibuk. Jadi saya harus pulang sebelum dia pulang *saya pikir, saya kudu kerja apa yang pulangnya tempo begini :D?*, kalaupun jadi guru, ada beberapa sekolah yang jam kerjanya sampai sore, kalaupun jadi guru negri prosesnya susah, ya sudah saya malas akhirnya kerja. Lama-lama saya bosan dirumah, maka meminta waktu luang di suatu hari alias me time adalah suatu solusi agar saya bisa ‘bernafas’ lagi, biar bisa waras lagi. Nggak disangka suami bilang gini, “Me time..me time... kamu udah nggak perlu lagi me time. Buat apa me time, yang namanya istri itu dirumah. Kalau kamu me time, siapa yang ngurusin suami?” laah emang yang namanya me time itu berhari-hari? :D, dia belum tau apa dampaknya perempuan stress?


Kisah 4
“Ah gue mo resign ah”
“Kenapa?”
“Gue nggak enak sama nyokap selalu jagain anak. Gue juga kesian sama anak gue selalu nangisin ibunya kalau berangkat kerja” ngenes
“Ya udah resign aja”’
3 bulan kemudian, saya mendapati teman saya yang resign itu mulai menyebalkan padahal dulunya menyenangkan. Omongannya mulai pedes, dan sikapnya sangat tidak menyenangkan.


Beberapa kisah diatas hanya gambaran saja, betapa menjadi perempuan setelah menikah itu berat. Banyak hal yang harus dia dedikasikan, untuk suami, anak, rumah, bahkan untuk orangtuanya. Kadang waktunya sehari tidak cukup untuk mengerjakan tugas-tugas rumahan, belum lagi cibiran orang ketika dia belum juga memiliki anak, belum memiliki perkakas rumah yang layak, belum ini dan belum itu. Berat, ketika ia harus meninggalkan ilmu pendidikannya selepas kuliah di Universitas bergengsi. Berat ketika pekerjaannya sudah menempati posisi layak dan nyaman sementara dia harus resign, berat ketika orang-orang julid nyinyir sana-sini, tentang suaminya, tentang anaknya, tentang rumah tangganya. Sungguh, menjadi istri yang dirumah dan tidak melakukan apa-apa itu hanya akan membuat istri menjadi merasa tidak berguna, walaupun ia berguna dimata suaminya karena sudah melayani dengan baik tetapi belum tentu berguna di mata masyarakat. Perasaan perempuan itu halus, walaupun mungkin orang lain tidak memikirkan seperti apa yang ia fikirkan tapi hampir semua perempuan menduga-duga apa yang difikirkan orang lain untuknya.
Karena berumah tangga tanpa melakukan apa-apa hanya membuat hatinya sepi dan merasa sendiri, kecuali si perempuan dikelilingi keluarga dan kerabat yang sangat hangat, pasti batin dan jiwanya bisa tertolong walaupun sekelilingnya ramai nyinyir.


Kisah 1
Diam-diam teman saya itu punya media sosial, tapi suaminya nggak tau XD, suaminya nggak dijadikan teman dong wkwk.. “Daripada ketahuan terus gue diomelin, berabe deh. Media sosial buat gue jadi sarana hiburan, buat silaturahmi ama temen-temen, update berita kekinian, dan gue bisa cari duit di media sosial” ya akhirnya temen saya itu jualan di medsos dan lakuuuuu… suaminya melongok dengan omset si istri, setelah ditanya “Kok kamu bisa laku gini sih, jualannya dimana? Kan nggak keluar rumah?” suaminya curiga istrinya melakukan penipuan, setelah dijelaskan istrinya jualan di media sosial, suaminya mingkem. Mampooooos… rasa gemes banget saya sama si suami. “Sebenernya apa sih ketakutan dia gue punya medsos, kalau misalnya gue salah ya, gue pengen banget bisa dinasehatin, bukannya dilarang-larang gue bersosialisasi. Gue pengen bisa banyak belajar dari kehidupan ber medsos, mungkin dari status orang gue bisa banyak belajar tentang kehidupan” ya akhirnya karena temen saya itu bisa mengubah mindset suaminya, dia pun nggak dilarang bermedsos. Toh, dia pun ngerti semacam apa rambu-rambu yang harus ditaati atau ditinggalkan. Ya mungkin suaminya takut si istri ditaksir orang gitu kali ya hihihi.. dan sebaiknya istri-istri berani membuat sebuah gebrakan agar ketika mencapai titik puncaknya bisa merubah mindset suami.


Kisah 2
Kisah temen saya ini nggak jauh-jauh banget ama kisah pertama. Karena dia dilarang untuk keluar rumah dan bertemu dengan teman-temannya, akhirnya dia melanjutkan nulis buku dan ngeblog, doi juga menjalin relasi dengan banyak orang lewat media sosial, dapet duit dong? ya iya, tentu saja. Suaminya kaget ketika teman saya ini bisa bantu-bantu suaminya. Akhirnya dia ngomong juga ketika akhirnya suaminya bertanya, “Ya aku bosan dirumah, cuma ngerjain pekerjaan yang monoton. Apalagi aku dulu kerja, aku pengen punya waktu untuk menyalurkan kemampuanku, minimal ilmuku kuliah nggak sia-sia banget kalau emang nggak boleh kerja nggak apa-apa, tapi jangan semuanya dilarang” sahutnya kemudian yang akhirnya meledak bak gunung es yang membeku. Oke suaminya membutuhi semua kebutuhannya tanpa terkecuali, tapi tetep dia merasa tersiksa dengan semua itu, karena itu ia ibarat burung dalam sangkar, dipelihara tapi nggak boleh kemana-mana. Para suami nggak kepingin kan istri-istrinya gila akibat selalu dikukung dirumah terus?


Kisah 3
Kadang kalau lagi senggang, saya suka ngajak ngobrol paksu, “Bah.. bah sudah baca cerita ibu yang bunuh keempat anaknya? Kasian ya dia stress karena nggak punya aktualisasi diri” atau kalau ada cerita lain kadang saya suka ngomporin, “Ternyata bahaya banget perempuan stress dan nggak boleh punya waktu buat me time, ada berita ibu-ibu gantung diri, bahkan ada yang bunuh bayinya” eh lama-lama paksu terbuka pikirannya, dan akhirnya beberapa tahun terakhir saya punya waktu utuk me time, bahkan saya diizinkan jalan-jalan, menghadiri acara, dll. Anak, boleh dititipkan ke mertua atau kalau hari libur, paksu mau menjaganya.

Kisah 4
Mungkin karena dunianya berada di lingkungan kerja, perempuan ini nggak bisa beradaptasi dan nggak bisa nerima apa yang sudah menjadi keputusannya ketika resign, padahal suaminya mendukung dia bekerja, diam saja dirumah membuatnya bingung harus melakukan apa dan bagaimana yang akhirnya membuat si perempuan malah terlihat aneh. Dia lebih sensitif dan gampang baper setelah resign, bahkan nggak sedikit yang akhirnya memusuhi karena sikapnya yang kurang menyenangkan. Ternyata tidak sedikit perempuan-perempuan yang memiliki energi berlebih yang kalau tidak tersalurkan di dunia kerja akan buruk efeknya


perempuan butuh teman ngobrol sesama perempuan

Dari 4 kisah diatas apa yang bisa kita tarik kesimpulan?

Kisah 1 : Di era millennial ini medsos ternyata bukan sebuah ancaman, karena cepat atau lambat untuk mengikuti perkembangan jaman manusia harus memiliki medsos agar ia tau dunia berkembang seperti apa dan bagaimana. Sikap suami untuk melarang istri untuk punya media sosial sama saja membuat istrinya akan mundur beberapa langkah dari jamannya.

Kisah 2 : Walaupun suaminya perhatian dan sayang sama istrinya, tetap perempuan butuh eksistensi diri, dia tetap harus punya kesibukan. Karna sayang dan cinta rupanya tidak membuat istrinya bisa bergerak bebas, dia seperti burung dalam sangkar. Bosan. Ya, siapa sih yang nggak bosan hanya dirumaaah terus tanpa melakukan apa-apa, makannya ibu-ibu jaman dulu kenapa banyak yang punya mesin jait? Tidak lain hanya untuk membuat kesibukan saja daripada waktunya terbuang sia-sia,

Kisah 3 : Walaupun punya kesibukan dirumah, bukan berarti masalah lepas begitu saja, perempuan tetap butuh waktu khusus untuk me-refresh apa yang menjadi kepenatannya. Yes, perempuan butuh me time

Kisah 4 : resign memang menjadi pilihan teman saya, tapi walaupun menjadi ibu rumah tangga bukan berarti dia harus pyuuur menjadi ibu rumah tangga, dia harus punya kesibukan lain, apalagi sebelumnya dia bekerja, pasti hatinya sepi.


Perempuan yang tidak bekerja harus tetap punya kesibukan selain melakukan aktifitass harian, tetap harus berdialog dengan pasangannya agar pikirannya tetap waras dan mencari solusi atas setiap kejadian yang dialaminya dan jangan merasa sendirian ketika tidak ada yang mendukung.
Perempuan harus memiliki mindset, bahwa ia tidak sendirian di muka bumi ini, ada banyak perempuan yang senasib dengan dirinya, apalagi di era milenial seperti saat ini, menjadi perempuan yang tidak stress itu susah, maka perempuan harus punya dorongan dari dalam dirinya untuk merubah semua pemikiran buruknya, yaa.. perempuan harus mampu merubah pemikirannya sendiri layaknya R.A Kartini, namun ini Kartini yang kekinian hehe... Perempuan kuat seperti inilah yang mampu merubah tantangan zaman. Semangat ya emak-emak!

10 comments :

  1. Wkwkk
    Ngakak sendiri bacany
    Ank flp siapa mpok
    Bukan flp bekasi kykny coz stauku flp bkasi pasangan2ny pun pada ikut mlebur deh alias santai2 aj, contohny laki gw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Naaa ini, berarti kamu belum kenal temen sendiri, masak nggak tau orangnya siapa?

      Delete
    2. Duh komennya, ampuuun... Galak bener mba 😁😁

      Delete
  2. Saya dulu juga resign dan bosen di rumah. kalau punya medsos dibolehin sama suami cuma karena terbiasa kerja kantoran akhirnya suka ngamuk ke suami juga. ngamuk gak jelas lebih banyak malah ke anak2 biasa aja. akhirnya biar gak ngamukan pas suami kerja berangkat ke mebel saya selalu ikut. sampe saya ikutan ngamplas meja juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha.. nggak papa mba, jika kerja bisa bikin mbanya seneng lakukan, walaupun itu cuma ngamplas kayu

      Delete
  3. Saya belum menikah.. Tapi kok meresapi sekali baca artikel ini.. Berasa klo saya ada di posisi 1,2,3, atau 4 itu gimana yaaa..
    Sempat terpikir, kalau nanti sudah menikah ingin 100% jadi IRT saja yang mengerjakan pekerjaan rumah, melayani suami, mengurus anak. Tapi ternyata itu saja tidak cukup ya..

    Terimaksih banyak mba untuk pencerahannya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga segera mencicipi bagaimana indahnya menikah, jika menikah dilakukan sebab ibadah maka akan berkah dan nggak akan terasa kalau lagi ribut, karena setelahnya akan timbul lagi rasa cinta kedua pasangan

      Delete
  4. beruntunglah wanita yg sudah menikah punya kegiatan utk aktualisasi diri, kalo ngga ya jd ibu2 yg hobi gosip.
    kalo suami yg larang2 main sosmed sih udah melanggar hak kebebasan si istri sih. semoga kelak suami saya membebaskan saya bekerja dan bersosial media. hehehee

    ReplyDelete
  5. Masing masing orang punya cerita rumah tangga yang berbeda satu sama lain ya. Aku yanh belum nikah ini jadi belajar lebih banyak dan banyakin berdoa agar suamiku nanti bisa mengerti passionku gak mengekang2 heheheh

    ReplyDelete

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca catatan saya, semoga bermanfaat ya ^^
Mohon komennya jangan pakai link hidup, :)