Seperti biasa,
sehabis subuhan gue leyeh-leyeh di Kasur, toh suami nggak kerja ini jadi nggak
perlu buru-buru bikin sarapan. Dan seperti biasa pula, leyeh-leyeh itu berujung
ketiduran yang kemudian gue kaget karena dikecup Naqib. Biasa memang anak itu,
sayang banget sama ibunya :D
Sembari bikin
sarapan, dari balik jendela gue ngeliat kakak dari mertua gue tergesa turun
dari motor. Suami gue nanya, “Siapa?”
“Nde (pakde kalau
dalam istilah Jawa) anu” nggak lama dari pemandangan itu, laki gue dapat telpon
dari kakaknya, kalau tetangga sebelah –persis banget sebelah rumah, yang hanya
dibedakan jalan beraspal- meninggal dunia. Dan yang meninggal barusan adalah
menantu dari Nde Anu tadi, sudah pasti hubungan dengan kita saudara dong.
Seketika saat itu juga kepanikan melanda, bingung harus apa dan bersikap
bagaimana, datang berbahaya, nggak datang saudara sendiri, kan ah.. ya Allah
kenapa semua terjadi di masa pandemi gini sih T_T..
Soalnya kita
ditengah masa pandemi, dan sangat berbahaya kalau ada ajang kumpul-kumpul, dan
masa pandemi waktu itu sedang tinggi-tingginya banyak yang terjangkit, jadi
mana ada yang tau kalau diantara pelayat itu ada yang positif corona kan?
Masalah lain adalah, anak dari si bapak yang meninggal ini baru saja keluar dari
rumah sakit karena terkena DBD, kita yang tadinya nggak kepingin su’udzon jadi
su’udzon, “Mana tau si anak bawa virus covid dari orang lain, terus nularin
bapaknya, eh meninggal” kata suami gue, soalnya tetangga gue yang meninggal ini
terkena gula, lanjut struk, sudah hampir sebulan beliau nggak keliatan, karena
pada akhirnya memang hanya bisa tiduran aja. Tuh kan, gara-gara corona kita
jadi suudzon sama tetangga sendiri. –deeuh corona disalahin..-
Sebelum kena struk
si bapak ini kerap menyapa kami kalau kebetulan lewat di depan rumahnya, jadi
berasa sedihnya sih L. Suami gue sebetulnya mau aja takziah, tapi masalah
berikutnya gue kan lagi hamil, tau nggak? kalau ibu hamil itu lebih rentan
terkena covid 19 walaupun kondisinya sehat, nah dirumah juga ada anak kecil,
konon kabarnya kasus corona tertinggi itu menimpa anak-anak. Kan beneran serba
salah, takziah salah, nggak takziah lebih salah.
Akhirnya..
Ya sudahlah, demi
alasan kesehatan kami memutuskan untuk tidak keluar rumah. Kakak suami yang
rumahnya hanya berjarak 50 meter dari kita pun memutuskan nggak menampakkan
diri. Lucunya kita selalu update lewat w.a dan video call, dan parahnya yang
selalu jadi tukang pantau ya gue sekeluarga. Lah masalahnya rumah si kakak kan nggak
bisa memantau orang-orang yang datang karena rumahnya tidak menghadap ke rumah
si almarhum. Ya sudahlah kita jadi tumbal. Serba salah lainnya, pakaian yang
siap dijemur jadi tertahan, padahal cucian dirumah saat itu lagi
banyak-banyaknya, hari kemarin gue baru aja ganti seprai 2 kamar, handuk,
mukena, belum baju-baju, jadi lu bayangin aja baju kami banyaknya kayak apa
numpuk di laundry bag dan mesin cuci
T_T
Serba salah
kembali terjadi ketika siang, saat itu gue ingin makan di mama mertua, tapi mau
disusun serapi apapun tetap jadi serba salah. Untung saat itu pula gue nggak
catering, bayangin aja kalau catering, masak tiba-tiba buka pintu padahal dari
pagi nggak nampakin diri, kan nggak lucu banget (selama hamil gue memutuskan
untuk catering, karena nggak tahan bau bawang).
Serba salah pun
timbul ketika ingin pergi, “Kita pergi pas orang-orang nguburin” kata suami,
tapi yang terjadi orang-orang yang nggak ke kuburan banyak juga yang ngumpul di
depan rumah. Haduuuuh nasib..nasib..
“Coba tanya ka
Nita (ka Nita ini istri dari kakak suami gue), dia kerumah mama nggak?” kakak
ipar gue yang satu ini terkenal absurd juga, kadang pilihannya suka goyah. Eh
tapi ternyata dia keukeuh ingin dirumah
sampai malam, beruntung dia punya persediaan sayur jadi bisa masak sendiri. Lah
gue, nggak pernah ke warung ada stok apa dirumah? Ah pandemi..pandemi bikin
galau banget dah T_T
Lapaaar…
Kirain bisa
keluar, mau diakalin gimana juga tetep nggak bisa. Ya sudahlah, akhirnya
bismillah aja buka kulkas, masak yang ada di kulkas aja. Ada telor dua biji,
dadar. Ada bayam segenggam, rebus, ada nugget di goreng. Dan yang terakhir gue
bikin spaghetti carbonara, karena gue nggak bisa makan telor dan naget. Rasanya
begitu aneh buat mulut, maklumlah lagi hamil kan, mau makan apa aja mual.
Beruntung ada buah, gue potong kiwi 2 buah, alhamdulillah kita makan siang hari
itu dengan menu seadanya. Kenyang, karena spaghetti kan karbo, dan garnisnya
dari susu, beneran kenyang banget. Syukuri ajalah pokoknya yang penting Naqib
dan abahnya bisa makan sayur..
Siang itu gue bisa bernafas lega dan akhirnya kita bisa tidur siang dengan perut kenyang. Tapi perasaan bersalah tetap menghantui, kenapa nggak keluar rumah, kenapa nggak takziah, apa kata orang? Kalau kita hidup di komplek yang kebanyakan anti sosial sih nggak masalah, masalahnya kita hidup di lingkungan kampung, yang jika kalian nyebut nama si A, satu kampung tau siapa si A ini. Tapi balik lagi, sebab alasan kesehatan kita tutup perasaan ini jauh-jauh.
menu seadanya yang penting bisa makan |
Siang itu gue bisa bernafas lega dan akhirnya kita bisa tidur siang dengan perut kenyang. Tapi perasaan bersalah tetap menghantui, kenapa nggak keluar rumah, kenapa nggak takziah, apa kata orang? Kalau kita hidup di komplek yang kebanyakan anti sosial sih nggak masalah, masalahnya kita hidup di lingkungan kampung, yang jika kalian nyebut nama si A, satu kampung tau siapa si A ini. Tapi balik lagi, sebab alasan kesehatan kita tutup perasaan ini jauh-jauh.
“Tapi abah jangan
sampai nggak takziah besok” gue mewanti-wanti
“Ya iyalah, besok
pasti abah datang bu, nggak usah khawatir. Mereka kan saudara kita juga. Masak
nggak ditengokin. Yang penting nggak banyak orang aja dulu”
Kemudian malam pun datang :D
Karena makan siang
nggak akan bisa membalas untuk kondisi perut di malam hari, kita tetap harus
makan, apalagi ada ibu hamil dan anak kecil yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Tapi masalahnya ini gimana cara makannya heuheu.. kondisinya tetap tidak
mengenakkan untuk keluar-keluar, karena walaupun pandemi, yang namanya orang
kampung tetap akan melaksanakan tahlil. Ya walaupun tahlilnya nggak seramai
pada umumnya, yang penting tahlil aja intinya. Jadi kita harus memutar otak
bagaimana caranya bisa makan tapi nggak ketahuan tetangga sebelah.
“Kalau mau pesen
makan sekarang, mumpung belom ramai” kata suami.
“Abah nggak
makan?”
“Abah mah gampang,
yang penting ibu sama Naqib aja dulu” ya sudah akhirnya pesen makan, disaat
menjelang maghrib, dimana suasana sepi, dan epicnya, kayak main battle-battlean
gitu, curi-curi kesempatan. Wkwk… seru banget dah pokoknya.
“Disebelah sepi?”
“Sepi..”
“Oh syukur deh”
wkwkwk.. kocak banget nggak sih?
Di satu sisi gue
mikir,
“Nanti ini gimana
ya bah, biar nggak ketahuan pesen makan?” padahal kan kalau dipikir-pikir pesen
makan pun biasa aja ya, tapi karena seharian nggak keluar suasannya jadi beda
:D
“Abangnya suruh
kerumah ka Nita aja” jadi rumah ka Nita ini yang suaminya kakak kandung suami gue,
rumahnya nggak jauh dari rumah gue, hadep-hadepan, cuma bedanya dia punya rumah,
pintu masuknya nggak keliatan dari rumah tetangga gue yang meninggal itu, jadi
kalau digambarkan itu kayak gini nih, lihat gambar dibawah,
Kan jadinya Ka
Nita diuntungkan banget dalam suasana ini, selain itu disebelah rumahnya adalah
sekolah, dimana terdapat akses untuk bisa pergi kemana aja. Dia sih kalau mau
kabur gampang, nggak bakalan ketahuan siapa-siapa, lah rumah gue? Heuheu.. dan
akhirnya, gue pesen makan dan minta si abang jangan datang ke depan rumah,
haduh.. beneran kayak main kucing-kucingan sama tetangga, ah koplak banget
malam itu ya Allah T_T.. sungguh serba salah loh.. coba kalian ada di posisi
gue, pasti akan merasakan hal yang sama.
Akhirnya..
Si abang datang
saat suara azan berkumandang, dan suasana benar-benar sepi saat itu, Alhamdulillah
selepas maghrib kami sekeluarga bisa makan dan kenyang walaupun kenyangnya
biasa aja yang penting terisi perutnya, samar-samar gue mendengar suara orang
mengumandangkan tahlil.
Besok paginya,
pagi-pagi sekali suami mengantarkan dana takziah untuk keluarga almarhum,
kenapa pagi-pagi sekali? Karena takut ada orang lagi yang banyak berkumpul,
sehingga untuk menghindari kerumunan suami datang lebih awal, alhamdulillah
tetangga kami memaklumi. Lepas sudah beban rasa bersalah dan nggak main
kucing-kucingan lagi setelah suami pulang wkwk… ah sungguh ini pengalaman yang
nggak akan pernah bisa gue lupain seumur hidup
Ngerti banget siiih. Rumahku jg bukan komplek Nda. Jadi tetangga kiri kanan ya masih kayak suasana kampung. Rame. Sebulan lalu jg ada yg meninggal, tetangga, dan bapaknya itu dulu supirku yg srg anter jemput aku. Jd Deket lah hubungan tetangga kami. Tp pas nenek di sana meninggal, tetep aja semua tetangga ga ada yg mau DTG Krn pandemi. Yg ksana cukup pak RT. Dan dia ngelarang semua warga utk melayat atopun ngadain tahlilan. Kalo mau berdoa intinya rumah masing2 aja.
ReplyDeleteSerba salah sih memang, tp kondisi sedang begini. Walo saudara sendiri, tp aku LBH mengutamakan keluarga di rumah, apalagi ada anak2.
Yg LBH sedih, tgl 25 mau kmrn papanya staff ku, mninggal. Tp dia ga bisa DTG Krn pandemi dan sdg hamil pula. Mau bilang gimana.. papa kandung padahal, tp ttp harus mengutamakan keselamatan dia dan kluarga dan kehamilannya juga kan. Sedih sih memang... :( Berdoa aja wabah ini cepet selesai lah ..
Kejadian serupa dengan saya. Yang meninggal tetangga pas sebelah rumah. Orangtua dah lanjut usia. Ya kami tetap melayat, tetap mengurus jenazah sampai tuntas, terutama bapak2 yg ngurus. Keluarga alm. mengizinkan dan berhusnuzon pada semua pelayat. Semua pelayat memakai masker jg dan yg sakit tidak perlu melayat. Saya tu sempat cemas juga mba, takutnya ada kewajiban agama yg jadi hilang (gk bisa dijalankan). Sekarang 1 bulan dah berlalu, alhamdulillah warga dsini masih sehat2 selalu.
ReplyDeleteiya ya mba serba salah kalau lagi situasi begini takut dikira tetangga gak pedulilah macem-macem. tapi syukurlah sudah bisa teratasi
ReplyDelete