Saturday, 27 November 2021

Ketika Naqib Dapat Nilai 70

 

 



(Tulisan ini sebenernya sudah lama dibuat, hanya saja saya lupa ngepostnya hehe..)

Hari ini pertama kalinya Naqib sekolah setelah 2 tahun dirumah aja, pandemi bikin dia mau nggak mau belajar sama saya. Sungguh dia excited sekali akhirnya bisa sekolah, apalagi ini untuk pertama kalinya dia masuk sekolah setelah dinyatakan jadi murid SD. Bayangin aja, sudah diterima di SD tapi baru di kelas 2 dia masuk sekolah, sampai-sampai pas kelas 1 dia nggak kenal siapa gurunya, teman-temannya, untungnya pas kelas 2 temen-temennya nggak berubah sama sekali, ada yang pindah dan berganti teman baru saja dia nggak tau :D. Sebenernya juga ini bukan kali pertama sih dia sekolah, pertemuan pertama sudah dimulai sejak seminggu sebelum ini, tapi Naqib panas tinggi hampir seminggu, dan dia nggak bisa masuk selama 2 hari. Kebetulan pas dia masuk sekolah itu hari pertama dia sakit, beuh kecewanya kayak apa coba..

Masuk sekolah tentu aja nggak melewati yang namanya ngerjain soal. Pertama kali masuk sekolah, dia langsung dapet lembaran soal, yang saya duga itu ulangan, tapi kata gurunya itu Latihan -padahal nggak boleh lihat buku :D- begitu masuk rumah, Naqib langsung memamerkan hasil ulangannya pada saya,

“Bu Naqib dapat tujuh puluh, yang satunya lagi dapat seratus, tapi sayang banget ya.. yang satu dapat nilai tujuh puluh” katanya bangga. Ketika dia ngomong begini, seketika itu pula inner child saya terusik, bak kaset yang terputar, seketika saat itu juga saya mendapati diri ini ada berpuluh tahun yang lalu saat saya masih sekolah, terbayang jelas di mata dan memori. Sama-sama menunjukkan nilai pada orangtua tapi respon yang saya dapat berbeda. Berbeda dan menyakitkan, hingga membuat memori ini terpaksa merekam dengan jelas kejadian tersebut walaupun sudah berusaha dilupakan -dan berusaha dimaafkan-.

“Kok cuma dapet nilai segitu?”

“Kalau kamu bisa lebih giat lagi belajar, pasti bisa lebih dari itu nilainya, males sih belajar”

“Ingat loh Manda, kalau nilaimu jelek terus kamu bisa-bisa nggak naik kelas, masak nilai dikatrol trus”, sebuah usaha yang tidak dihargai sama sekali, mending dapat nilai jelek sekalian, atau mending diomeli daripada tidak dihargai, begitu pikir saya. Semenjak hari itu saya nggak mau menunjukkan berapa nilai ulangan saya, meski bagus sekalipun, ulangan bagus aja respon mereka yang.. yah biasa aja gitu, datar, padahal setiap anak ingin respon yang lebay dari orangtuanya, walaupun itu hanya kebahagiaan yang pura-pura. Apa salahnya menghargai perasaan anak? Saya tau, kata-kata orangtua saya itu sebuah motivasi, tapi motivasi yang salah ucapan, maksudnya memotivasi malah menyakiti. Memang benarlah kata sebuah pesan, “Menjadi orangtua harus terus belajar, kita adalah murid, anak-anaklah gurunya” pesan ini jangan dibalik, nanti yang terjadi seperti saya.

 


Inner child yang sangat terluka..

Sekuat tenaga saya tidak ingin berkata hal yang sama, berusaha berdamai dengan masa lalu, padahal ingin sekali berkata kata-kata yang sama untuk menumpahkan amarah, dendam dan kekecewaaan. Tahan..tahan..tahaan.. ya Allah ampunilah hamba

“Naqib hebat banget dapet tujuh puluh, pintar” tapi mungkin bisikan setan, melihat ada soal yang dikerjai asal, saya mengomel. “Ini kenapa salah? Harusnya kalau Naqib ngerjain bener-bener pasti betul”

“Naqib bingung bu, harus coret-coret dimana?”

“Nanti kalau Naqib sekolah lagi ibu kasih kertas cakaran, biar Naqib nggak ngasal ngerjain soal” haduh, seharusnya saya nggak ngomong begitu sama Naqib, mudah-mudahan Naqib nggak inget sama apa yang saya omongkan barusan. Sungguh saya nggak mau ngomong kayak tadi.

 

Di meja makan pas makan siang

“Nggak apa-apa bu Naqib dapat nilai tujuh puluh”

“Memangnya kenapa?”

“Naqib takut ibu marah”

“Santai aja Qib, kan Naqib sudah berusaha” ya Allah, sesungguhnya saya ingin mengatakan sesuatu, sebuah dorongan kuat yang membuat saya ingin melontarkan kata-kata ketidakpuasan seperti dulu kala, tapi berusaha kuat saya lawan ini, saya nggak mau melukai perasaan anak saya, cukup saya saja yang terluka. Memiliki inner child yang nggak pernah sembuh sungguh perjuangan keras ketika ada sesuatu kejadian yang sama, kita harus mengalah pada kejadian tersebut, bukan membalasnya. Dan dibutuhkan muka dua untuk bisa menunjukkan sikap, kita baik-baik saja. Tapi akhirnya saya nggak tahan juga untuk menceritakan keburukan masa lalu saya, “Naqib harusnya bersyukur punya ibu kayak ibu (loh jadi membanggakan diri :D) ibu nggak masalah Naqib dapat nilai segitu, dulu ibu diomelin sama ome, karena ibu kurang belajar”, Disclaimer.. pernyataan ini nggak bagus sebenernya, malah menjelekkan neneknya, tapi sungguh, inner child saya terluka sekali. Mungkin kalian yang belum pernah merasakan hal tersebut menganggap saya kurang ajar. Tapi tak apalah, saya tidak bisa mencegah orang lain untuk ngomong apa, ye kan…

 

Di satu sisi

Malamnya, seperti biasa selepas pulang kantor, saya sempatkan waktu untuk quality time dengan suami dan anak-anak. Tentunya untuk mendapatkan waktu ini segambreng pekerjaan harus sudah selesai sebelum suami pulang biar waktu ngobrol-ngobrol ini terasa lama, kalian tau kan, hidup hanya sementara, jadi saya pikir saya harus memanfaatkan waktu bersama ini semaksimal mungkin sebelum akhirnya -entah siapa duluan yang akan pergi-

Naqib bercerita, kalau dia dapat nilai bagus disekolahnya, respon suami saya sama, dia tidak mempermasalahkan nilai tersebut. Pada saat suami menemani saya makan malam (karena memang suami saya makan duluan, selepas pulang kantor, jadi makan suka terpisah hehe) saya bercerita tentang percakapan tadi siang dan dia menanggapi,

“Abah mau Naqib dapat nilai berapapun, abah terima, nggak pernah abah mempermasalahkan itu, padahal dulu abah kan selalu rangking (nggak kayak ibunya ya bego :D) tapi abah nggak kepingin berambisi Naqib harus kayak abah yang selalu rangking. Naqib ya Naqib, abah ya abah”

Iya, saya perhatikan suami nggak pernah lihat rapot anak dari semenjak TK, bahkan nilai Bahasa Sunda yang 50 di rapot aja suami tertawa, “Nggak apa-apa Qib kamu kan bukan orang Sunda, sudah ngerti aja bagus” ini juga yang saya katakan pada Naqib. Tetapi bukan berarti karena kami dua orangtua yang sama-sama menahan ambisi membebaskan anak tidak belajar, anak tetap belajar tapi nggak di push, karena saya tau efeknya jika anak dipaksa belajar, yang ada dia malah nggak mau belajar sama sekali. Begitulah mala mini, cerita dari 2 orang manusia, dengan latar belakang Pendidikan dan pola asuh yang berbeda. Yang satu berada pada posisi inner child yang terluka, yang satu pada masa lalu yang berprestasi. Keduanya tidak berambisi untuk membalas masa lalu pada anaknya, karena anak punya masa depannya sendiri.

2 comments :

  1. Nilai segitu udah pencapaian banget sih buat si kecil dan kalau misalnya dia memang kesulitan orang tua bertugas membantunya.

    ReplyDelete
  2. Selaku sukaaa baca cerita ttg naqib 😄. Polosnya gemesin.

    Aku sendiri pernah juga rasain posisi yg sama. Mungkin Krn dulu pernah dpt juga kata2 ga enak dari ortu. Tapi dengan anakku skr, aku cuma tekanin, berapapun nilai yg mereka dapet, aku cuma mau jujur ngerjainnya. Aku ga bakal bangga mereka dpt 100 tp hasil nyontek. Itu aja yg aku tekanin dulu.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca catatan saya, semoga bermanfaat ya ^^
Mohon komennya jangan pakai link hidup, :)