(Tulisan
ini sebenernya sudah lama dibuat, hanya saja saya lupa ngepostnya hehe..)
Hari ini pertama kalinya Naqib sekolah setelah 2 tahun dirumah aja, pandemi bikin dia mau nggak mau belajar sama saya. Sungguh dia excited sekali akhirnya bisa sekolah, apalagi ini untuk pertama kalinya dia masuk sekolah setelah dinyatakan jadi murid SD. Bayangin aja, sudah diterima di SD tapi baru di kelas 2 dia masuk sekolah, sampai-sampai pas kelas 1 dia nggak kenal siapa gurunya, teman-temannya, untungnya pas kelas 2 temen-temennya nggak berubah sama sekali, ada yang pindah dan berganti teman baru saja dia nggak tau :D. Sebenernya juga ini bukan kali pertama sih dia sekolah, pertemuan pertama sudah dimulai sejak seminggu sebelum ini, tapi Naqib panas tinggi hampir seminggu, dan dia nggak bisa masuk selama 2 hari. Kebetulan pas dia masuk sekolah itu hari pertama dia sakit, beuh kecewanya kayak apa coba..
Masuk
sekolah tentu aja nggak melewati yang namanya ngerjain soal. Pertama kali masuk
sekolah, dia langsung dapet lembaran soal, yang saya duga itu ulangan, tapi
kata gurunya itu Latihan -padahal nggak boleh lihat buku :D- begitu
masuk rumah, Naqib langsung memamerkan hasil ulangannya pada saya,
“Bu
Naqib dapat tujuh puluh, yang satunya lagi dapat seratus, tapi sayang banget
ya.. yang satu dapat nilai tujuh puluh” katanya bangga. Ketika dia ngomong
begini, seketika itu pula inner child saya terusik, bak kaset yang
terputar, seketika saat itu juga saya mendapati diri ini ada berpuluh tahun
yang lalu saat saya masih sekolah, terbayang jelas di mata dan memori. Sama-sama
menunjukkan nilai pada orangtua tapi respon yang saya dapat berbeda. Berbeda dan
menyakitkan, hingga membuat memori ini terpaksa merekam dengan jelas kejadian
tersebut walaupun sudah berusaha dilupakan -dan berusaha dimaafkan-.
“Kok
cuma dapet nilai segitu?”
“Kalau
kamu bisa lebih giat lagi belajar, pasti bisa lebih dari itu nilainya, males
sih belajar”
“Ingat
loh Manda, kalau nilaimu jelek terus kamu bisa-bisa nggak naik kelas, masak
nilai dikatrol trus”, sebuah usaha yang tidak dihargai sama sekali, mending
dapat nilai jelek sekalian, atau mending diomeli daripada tidak dihargai,
begitu pikir saya. Semenjak hari itu saya nggak mau menunjukkan berapa nilai
ulangan saya, meski bagus sekalipun, ulangan bagus aja respon mereka yang.. yah
biasa aja gitu, datar, padahal setiap anak ingin respon yang lebay dari
orangtuanya, walaupun itu hanya kebahagiaan yang pura-pura. Apa salahnya
menghargai perasaan anak? Saya tau, kata-kata orangtua saya itu sebuah
motivasi, tapi motivasi yang salah ucapan, maksudnya memotivasi malah menyakiti.
Memang benarlah kata sebuah pesan, “Menjadi orangtua harus terus belajar, kita adalah
murid, anak-anaklah gurunya” pesan ini jangan dibalik, nanti yang terjadi
seperti saya.
Inner
child yang san
Sekuat
tenaga saya tidak ingin berkata hal yang sama, berusaha berdamai dengan masa
lalu, padahal ingin sekali berkata kata-kata yang sama untuk menumpahkan
amarah, dendam dan kekecewaaan. Tahan..tahan..tahaan.. ya Allah ampunilah hamba
“Naqib
hebat banget dapet tujuh puluh, pintar” tapi mungkin bisikan setan, melihat ada
soal yang dikerjai asal, saya mengomel. “Ini kenapa salah? Harusnya kalau Naqib
ngerjain bener-bener pasti betul”
“Naqib
bingung bu, harus coret-coret dimana?”
“Nanti
kalau Naqib sekolah lagi ibu kasih kertas cakaran, biar Naqib nggak ngasal
ngerjain soal” haduh, seharusnya saya nggak ngomong begitu sama Naqib, mudah-mudahan
Naqib nggak inget sama apa yang saya omongkan barusan. Sungguh saya nggak mau
ngomong kayak tadi.
Di
meja makan pas makan siang
“Nggak
apa-apa bu Naqib dapat nilai tujuh puluh”
“Memangnya
kenapa?”
“Naqib
takut ibu marah”
“Santai
aja Qib, kan Naqib sudah berusaha” ya Allah, sesungguhnya saya ingin mengatakan
sesuatu, sebuah dorongan kuat yang membuat saya ingin melontarkan kata-kata ketidakpuasan
seperti dulu kala, tapi berusaha kuat saya lawan ini, saya nggak mau melukai
perasaan anak saya, cukup saya saja yang terluka. Memiliki inner child yang
nggak pernah sembuh sungguh perjuangan keras ketika ada sesuatu kejadian yang
sama, kita harus mengalah pada kejadian tersebut, bukan membalasnya. Dan dibutuhkan
muka dua untuk bisa menunjukkan sikap, kita baik-baik saja. Tapi akhirnya saya
nggak tahan juga untuk menceritakan keburukan masa lalu saya, “Naqib harusnya
bersyukur punya ibu kayak ibu (loh jadi membanggakan diri :D) ibu nggak masalah
Naqib dapat nilai segitu, dulu ibu diomelin sama ome, karena ibu kurang belajar”,
Disclaimer.. pernyataan ini nggak bagus sebenernya, malah menjelekkan neneknya,
tapi sungguh, inner child saya terluka sekali. Mungkin kalian yang belum pernah
merasakan hal tersebut menganggap saya kurang ajar. Tapi tak apalah, saya tidak
bisa mencegah orang lain untuk ngomong apa, ye kan…
Di
satu sisi
Malamnya,
seperti biasa selepas pulang kantor, saya sempatkan waktu untuk quality time
dengan suami dan anak-anak. Tentunya untuk mendapatkan waktu ini segambreng
pekerjaan harus sudah selesai sebelum suami pulang biar waktu ngobrol-ngobrol
ini terasa lama, kalian tau kan, hidup hanya sementara, jadi saya pikir saya
harus memanfaatkan waktu bersama ini semaksimal mungkin sebelum akhirnya -entah
siapa duluan yang akan pergi-
Naqib
bercerita, kalau dia dapat nilai bagus disekolahnya, respon suami saya sama, dia
tidak mempermasalahkan nilai tersebut. Pada saat suami menemani saya makan
malam (karena memang suami saya makan duluan, selepas pulang kantor, jadi makan
suka terpisah hehe) saya bercerita tentang percakapan tadi siang dan dia
menanggapi,
“Abah
mau Naqib dapat nilai berapapun, abah terima, nggak pernah abah
mempermasalahkan itu, padahal dulu abah kan selalu rangking (nggak kayak ibunya
ya bego :D) tapi abah nggak kepingin berambisi Naqib harus kayak abah yang selalu
rangking. Naqib ya Naqib, abah ya abah”
Iya,
saya perhatikan suami nggak pernah lihat rapot anak dari semenjak TK, bahkan nilai
Bahasa Sunda yang 50 di rapot aja suami tertawa, “Nggak apa-apa Qib kamu kan
bukan orang Sunda, sudah ngerti aja bagus” ini juga yang saya katakan pada
Naqib. Tetapi bukan berarti karena kami dua orangtua yang sama-sama menahan ambisi
membebaskan anak tidak belajar, anak tetap belajar tapi nggak di push, karena
saya tau efeknya jika anak dipaksa belajar, yang ada dia malah nggak mau
belajar sama sekali. Begitulah mala mini, cerita dari 2 orang manusia, dengan
latar belakang Pendidikan dan pola asuh yang berbeda. Yang satu berada pada
posisi inner child yang terluka, yang satu pada masa lalu yang berprestasi. Keduanya
tidak berambisi untuk membalas masa lalu pada anaknya, karena anak punya masa
depannya sendiri.
Nilai segitu udah pencapaian banget sih buat si kecil dan kalau misalnya dia memang kesulitan orang tua bertugas membantunya.
ReplyDeleteSelaku sukaaa baca cerita ttg naqib 😄. Polosnya gemesin.
ReplyDeleteAku sendiri pernah juga rasain posisi yg sama. Mungkin Krn dulu pernah dpt juga kata2 ga enak dari ortu. Tapi dengan anakku skr, aku cuma tekanin, berapapun nilai yg mereka dapet, aku cuma mau jujur ngerjainnya. Aku ga bakal bangga mereka dpt 100 tp hasil nyontek. Itu aja yg aku tekanin dulu.