'Angka pernikahan di
Indonesia, capai yang paling rendah dalam satu dekade' begitu judul yang saya baca di
postingan akun Folkative di Instagram
Kalo saya bilang, bagus
sih, seenggaknya menekan laju pertumbuhan penduduk dalam beberapa tahun
terakhir, Indonesia Barat dan Tengah tuh sudah mulai padet banget, tapi
orang-orangnya nggak ada yang mau pindah ke Indonesia Timur, kalau ada yang mau
menekan laju pertumbuhan penduduk ini bagus banget. Tapi yang kebelet nikah
juga masih banyak kok, terbukti kemarin saya denger kabar ada anak usia 12
tahun sudah mengandung (eh itu sih kebobolan yah). Saya faham, banyak orang
Indonesia yang takut nikah karena beberapa hal, dan saya merangkum beberapa
faktor, kenapa akhirnya orang-orang pada takut nikah.
Terdistrak stigma Marriage
is Scary
1. Perkembangan media
sosial membuat siapa saja bisa menumpahkan segala keluh kesah. Nggak sedikit
yang akhirnya bebas tanpa beban curhat di media sosial. Saya nggak berani
menghakimi, ketika orang sudah nggak ada yang bisa diajak cerita, media sosial
satu-satunya tempat pelampiasan untuk cerita, berharap ada yang bisa
mendengarkan semua ceritanya, semua keluh kesahnya dan semua beban hidupnya.
Dan semua permasalahan tentang rumah tangga ini nggak sedikit yang akhirnya
viral lalu dibaca semua kalangan termasuk para jomblowan dan jomblowati. Bisa
dibayangkan pernikahan indah dan romantis membuat stigma baru dimasyarakat
bahwa pernikahan semenakutkan itu. Bagaimana perempuan di KDRT, belum lagi budaya
patriaki dimana perempuan merasa dijadikan pembantu setelah menikah oleh
laki-laki, belum lagi konflik menantu dan mertua, nimbrungnya ipar-ipar,
tetangga dan banyak yang akhirnya membuat generasi-generasi ini nggak mau
menikah. Ketakutan-ketakutan atas cerita orang lain ini yang membuat overthinking
dan sangat mencuci otak generasi sekarang. Padahal nikah aja belum sudah overthinking.
Sebagian besar yang takut menikah adalah perempuan, karena issue sosial
tadi, tapi nggak sedikit pula laki-laki yang juga takut menikah. Memangnya yang
tukang selingkuh, KDRT dll itu hanya laki-laki? Jangan salah, Perempuan juga
berpotensi sama.
2. Lebaynya orang
menceritakan rumah tangga mereka
Dan Media sosial
menjadi kecenderungan orang untuk memandang sesuatu hal yang sebenarnya receh,
menjadi sesuatu yang besar dan berlebihan.
Iya sih saya tau,
postingan tentang pribadi itu masing-masing, tapi kan nggak semua orang punya
pikiran positif menanggapi postingan kita.
Sebagai contoh, ada
postingan istri yang menceritakan betapa beruntungnya ia mendapatkan suami yang
mau membantu pekerjaan rumah, merawat anak, isi ponselnya mau dilihat, bahkan
royal, istri mau beli apa saja dibelikan. Sungguh postingan ini sebenarnya
positif, yang bikin konten cuma meluapkan kebahagiannya saja, karena sebagai
perempuan pengen banget diratukan setelah menikah. Tapi apa iya semua orang
memandang ini sesuatu yang positif, bagi orang-orang yang iri dengki pasti
memandang ini negatif. Bilang ini ainlah, noraklah, lebaylah. Akhirnya bagi
yang belum menikah jadi punya standar lain terhadap pasangannya dan pengen
banget cari yang kayak gitu. Nggak nemu-nemu dan akhirnya mereka nggak
nikah-nikah, karena standar mereka adalah sosial media. Padahal kalau mau tau,
konten-konten media sosial itu nggak selamanya akur, orang bahagia itu tidak
akan mau menceritakan kebahagiaan mereka di media sosial, Sebagian dari mereka
malah menutup rapat untuk dinikmati sendiri, tau nggak kenapa di Korea
menciptakan film-film romantis, karena masyarakatnya kaku semuaaa kayak kanebo
kering, kalau sudah kaku bagaimana mereka bisa saling kenal? Ini tentu saja
akan mengancam pertumbuhan penduduk di sebuah kota. Makannya biar pada saling
tertarik pemerintah membuat film cinta-cintaan. Eh yang mabok malah orang-orang
negara kita, dan masyarakat kita mengira kalau warga Korea romantis-romantis
banget. Dari Korea aja kita bisa belajar sebenernya, nggak semua yang ditampilkan
di publik sebenarnya romantis, bisa saja untuk menutupi sesuatu.
3. Masih banyaknya
sandwich generation
"Nanti kalau aku
nikah biaya makin besar, suamiku terbebani nggak ya?"
"Aku pengen banget
diizinin kerja, kebutuhan adek-adekku banyak"
"Istriku nanti
rela ga ya uang gaji dibagi ibuku yang sudah janda mengurus adik-adik yang
masih sekolah"
Dan banyaaaaak banget
keluhan sandwich generation lainnya. Generasi sandwich inilah akhirnya yang
membuat keputusan, sudahlah nikahnya ntar aja, kebutuhan masih banyak juga,
kalau aku nikah gimana, nanti biayanya nambah. Akhirnya mereka-mereka ini
memutuskan untuk lebih membahagiakan keluarga daripada mencoba untuk memulai
hidup baru
4. Eh nongol pula Independen
women
Belakangan ini juga
muncul istilah baru, Independen women. Mereka yang menjuluki dirinya independen
women ini merasa sudah bisa membiayai dirinya sendiri. Seperti sudah punya
rumah, mobil dan gaji yang mumpuni untuk biaya hidupnya. Sehingga mereka ini
pinginnya punya pasangan yang gajinya lebih dari mereka, karena mereka
beranggapan, "Kalau gajinya dibawah aku gimana? lah kan aku pingin
dinafkahi" dan perempuan-perempuan independen ini kadang juga standarnya
tinggi, btw, laki-laki kalau sudah dikasih opsi yang ketinggian juga mundurlah.
Dimana-mana laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dan nggak kepingin
diatur-atur, kalau sudah dikasih standar pasti ngerasa nggak punya harga diri.
Nah Independen women ini juga belakangan dihembuskan oleh kaum feminis yang
menuntut kesetaraan gender. Kalo menurutku, kesetaraan gender boleh-boleh saja
misalnya dalam hal pendidikan, pekerjaan, kalau sudah dibawa dalam ranah rumah
tangga itu sudah melanggar hukum islam (bagi yang muslim loh ya ga tau di agama
lain), mau setinggi apapun pendidikan kita, kalau kita sudah bersuami tetap
saja suami adalah pemimpin dan berhak mengatur semua hal yang diperintahkan
agama. Ada pun saya pernah membaca sebuah status, “Gue S2, suami SMA. Tapi pernikahan
kami akur-akur saja dan langgeng sampai puluhan tahun, ya biar suami merasa sangat
berharga gue pura-pura aja bego, ga ngerti apa-apa dan tetap butuh pertolongan
dia. Diskusi nggak merasa yang lebih pintar, mengatur rumah tangga juga ngga
yang ngerasa paling ngerti dan paling tau. Itu sebenarnya kunci sih misal kita
nggak dapat pasangan yang setara atau lebih” see.. bagaimana cerdasnya dia berfikir.
5. Mahar yang
gila-gilaan
Karena banyak perempuan
yang mengikuti standar medsos, dan melihat perempuan lain punya mahar tinggi,
ya sudah deh pengen kayak dia. Ini pula yang membuat banyak laki-laki akhirnya
mundur, padahal dalam sebuah hadist disebutkan, “Sebaik-baik mahar adalah
mahar yang paling mudah (ringan)" (HR Al Hakim, hadits shahih
berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim), eh terus dibales sama
perempuan-perempuan ini, 'Sebaik-baik suami yang bisa memberikan mahar yang
terbaik untuk calon istrinya' iya sih bener kalimat ini tapi kalau calon
suaminya nggak sanggup apa harus dipaksakan? Ada tuh di Timur baru-baru ini,
seorang polisi gantung diri karena tidak sanggup dengan mahar yang ditawarkan,
padahal cewenya sudah kadung hamil. Kalau kayak gini siapa coba yang rugi?
6. Ya udah deh
akhirnya ngumpulin duit aja terus
Percayalah, mau
mengumpulkan duit sebanyak apapun kalau calon pasanganmu tamak, itu nggak akan
sanggup membayar semuanya. Orang-orang ini yang terkena virus dari nomer 1-5
merasa kalau nggak cukup harta, nggak akan bisa menikah, pemikiran mereka
tentang pernikahan jadi semenakutkan itu. Padahal diluar sana nggak semua
pasangan melulu memikirkan duit, hal-hal duniawi bahkan menerapkan standar
rumah tangga seperti medsos. Ada yang punya standar sendiri, mereka aman-aman
saja dengan rumah tangganya. Mungkin kamu yang takut nikah belum ketemu dengan
orang yang betul-betul realistis dengan tujuan pernikahan, coba deh kalau sudah
ketemu pasti gercep pengen menikah. Karena sejatinya menikah itu harus punya
tujuan, misal tujuan utama sebenarnya pernikahan adalah ibadah, untuk mencapai
tahapan ibadah ini orang pasti akan sungguh-sungguh menjaga, seperti tidak KDRT,
tidak selingkuh, saling menjaga, saling menasehati, karena terkadang orang yang
niat menikahnya karena ibadah saja banyak yang tergelincir apalagi yang tidak
diniatkan karena itu.
Jadi buat adek-adek
yang menganggap menikah itu menakutkan, pahami dulu tujuan menikah itu apa,
prosesnya bagimana, cara menjalaninya kayak apa. Kalau sudah punya pedoman dan
contoh Insya Allah akan merasa menikah jika sudah siap tak perlu pusing soal harta,
keluarga apalagi musibah. Karena jika dijalani berdua dan dengan niat yang sama
semua ujian akan terasa ringan. Tsaaaah…
Post a Comment
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca catatan saya, semoga bermanfaat ya ^^
Mohon komennya jangan pakai link hidup, :)