Thursday, 6 February 2025

Hah? Orang-orang Indonesia Pada Takut Nikah?

 



 

'Angka pernikahan di Indonesia, capai yang paling rendah dalam satu dekade' begitu judul yang saya baca di postingan akun Folkative di Instagram

 

Kalo saya bilang, bagus sih, seenggaknya menekan laju pertumbuhan penduduk dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia Barat dan Tengah tuh sudah mulai padet banget, tapi orang-orangnya nggak ada yang mau pindah ke Indonesia Timur, kalau ada yang mau menekan laju pertumbuhan penduduk ini bagus banget. Tapi yang kebelet nikah juga masih banyak kok, terbukti kemarin saya denger kabar ada anak usia 12 tahun sudah mengandung (eh itu sih kebobolan yah). Saya faham, banyak orang Indonesia yang takut nikah karena beberapa hal, dan saya merangkum beberapa faktor, kenapa akhirnya orang-orang pada takut nikah.

 

Sumber : katadata

Terdistrak stigma Marriage is Scary

1. Perkembangan media sosial membuat siapa saja bisa menumpahkan segala keluh kesah. Nggak sedikit yang akhirnya bebas tanpa beban curhat di media sosial. Saya nggak berani menghakimi, ketika orang sudah nggak ada yang bisa diajak cerita, media sosial satu-satunya tempat pelampiasan untuk cerita, berharap ada yang bisa mendengarkan semua ceritanya, semua keluh kesahnya dan semua beban hidupnya. Dan semua permasalahan tentang rumah tangga ini nggak sedikit yang akhirnya viral lalu dibaca semua kalangan termasuk para jomblowan dan jomblowati. Bisa dibayangkan pernikahan indah dan romantis membuat stigma baru dimasyarakat bahwa pernikahan semenakutkan itu. Bagaimana perempuan di KDRT, belum lagi budaya patriaki dimana perempuan merasa dijadikan pembantu setelah menikah oleh laki-laki, belum lagi konflik menantu dan mertua, nimbrungnya ipar-ipar, tetangga dan banyak yang akhirnya membuat generasi-generasi ini nggak mau menikah. Ketakutan-ketakutan atas cerita orang lain ini yang membuat overthinking dan sangat mencuci otak generasi sekarang. Padahal nikah aja belum sudah overthinking. Sebagian besar yang takut menikah adalah perempuan, karena issue sosial tadi, tapi nggak sedikit pula laki-laki yang juga takut menikah. Memangnya yang tukang selingkuh, KDRT dll itu hanya laki-laki? Jangan salah, Perempuan juga berpotensi sama.

 

2. Lebaynya orang menceritakan rumah tangga mereka

Dan Media sosial menjadi kecenderungan orang untuk memandang sesuatu hal yang sebenarnya receh, menjadi sesuatu yang besar dan berlebihan. 

Iya sih saya tau, postingan tentang pribadi itu masing-masing, tapi kan nggak semua orang punya pikiran positif menanggapi postingan kita. 

Sebagai contoh, ada postingan istri yang menceritakan betapa beruntungnya ia mendapatkan suami yang mau membantu pekerjaan rumah, merawat anak, isi ponselnya mau dilihat, bahkan royal, istri mau beli apa saja dibelikan. Sungguh postingan ini sebenarnya positif, yang bikin konten cuma meluapkan kebahagiannya saja, karena sebagai perempuan pengen banget diratukan setelah menikah. Tapi apa iya semua orang memandang ini sesuatu yang positif, bagi orang-orang yang iri dengki pasti memandang ini negatif. Bilang ini ainlah, noraklah, lebaylah. Akhirnya bagi yang belum menikah jadi punya standar lain terhadap pasangannya dan pengen banget cari yang kayak gitu. Nggak nemu-nemu dan akhirnya mereka nggak nikah-nikah, karena standar mereka adalah sosial media. Padahal kalau mau tau, konten-konten media sosial itu nggak selamanya akur, orang bahagia itu tidak akan mau menceritakan kebahagiaan mereka di media sosial, Sebagian dari mereka malah menutup rapat untuk dinikmati sendiri, tau nggak kenapa di Korea menciptakan film-film romantis, karena masyarakatnya kaku semuaaa kayak kanebo kering, kalau sudah kaku bagaimana mereka bisa saling kenal? Ini tentu saja akan mengancam pertumbuhan penduduk di sebuah kota. Makannya biar pada saling tertarik pemerintah membuat film cinta-cintaan. Eh yang mabok malah orang-orang negara kita, dan masyarakat kita mengira kalau warga Korea romantis-romantis banget. Dari Korea aja kita bisa belajar sebenernya, nggak semua yang ditampilkan di publik sebenarnya romantis, bisa saja untuk menutupi sesuatu.

 

3. Masih banyaknya sandwich generation

"Nanti kalau aku nikah biaya makin besar, suamiku terbebani nggak ya?"

"Aku pengen banget diizinin kerja, kebutuhan adek-adekku banyak"

"Istriku nanti rela ga ya uang gaji dibagi ibuku yang sudah janda mengurus adik-adik yang masih sekolah"

Dan banyaaaaak banget keluhan sandwich generation lainnya. Generasi sandwich inilah akhirnya yang membuat keputusan, sudahlah nikahnya ntar aja, kebutuhan masih banyak juga, kalau aku nikah gimana, nanti biayanya nambah. Akhirnya mereka-mereka ini memutuskan untuk lebih membahagiakan keluarga daripada mencoba untuk memulai hidup baru

 

4. Eh nongol pula Independen women

Belakangan ini juga muncul istilah baru, Independen women. Mereka yang menjuluki dirinya independen women ini merasa sudah bisa membiayai dirinya sendiri. Seperti sudah punya rumah, mobil dan gaji yang mumpuni untuk biaya hidupnya. Sehingga mereka ini pinginnya punya pasangan yang gajinya lebih dari mereka, karena mereka beranggapan, "Kalau gajinya dibawah aku gimana? lah kan aku pingin dinafkahi" dan perempuan-perempuan independen ini kadang juga standarnya tinggi, btw, laki-laki kalau sudah dikasih opsi yang ketinggian juga mundurlah. Dimana-mana laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dan nggak kepingin diatur-atur, kalau sudah dikasih standar pasti ngerasa nggak punya harga diri. Nah Independen women ini juga belakangan dihembuskan oleh kaum feminis yang menuntut kesetaraan gender. Kalo menurutku, kesetaraan gender boleh-boleh saja misalnya dalam hal pendidikan, pekerjaan, kalau sudah dibawa dalam ranah rumah tangga itu sudah melanggar hukum islam (bagi yang muslim loh ya ga tau di agama lain), mau setinggi apapun pendidikan kita, kalau kita sudah bersuami tetap saja suami adalah pemimpin dan berhak mengatur semua hal yang diperintahkan agama. Ada pun saya pernah membaca sebuah status, “Gue S2, suami SMA. Tapi pernikahan kami akur-akur saja dan langgeng sampai puluhan tahun, ya biar suami merasa sangat berharga gue pura-pura aja bego, ga ngerti apa-apa dan tetap butuh pertolongan dia. Diskusi nggak merasa yang lebih pintar, mengatur rumah tangga juga ngga yang ngerasa paling ngerti dan paling tau. Itu sebenarnya kunci sih misal kita nggak dapat pasangan yang setara atau lebih” see.. bagaimana cerdasnya dia berfikir.

 

5. Mahar yang gila-gilaan

Karena banyak perempuan yang mengikuti standar medsos, dan melihat perempuan lain punya mahar tinggi, ya sudah deh pengen kayak dia. Ini pula yang membuat banyak laki-laki akhirnya mundur, padahal dalam sebuah hadist disebutkan, “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan)" (HR Al Hakim, hadits shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim), eh terus dibales sama perempuan-perempuan ini, 'Sebaik-baik suami yang bisa memberikan mahar yang terbaik untuk calon istrinya' iya sih bener kalimat ini tapi kalau calon suaminya nggak sanggup apa harus dipaksakan? Ada tuh di Timur baru-baru ini, seorang polisi gantung diri karena tidak sanggup dengan mahar yang ditawarkan, padahal cewenya sudah kadung hamil. Kalau kayak gini siapa coba yang rugi?

 

6. Ya udah deh akhirnya ngumpulin duit aja terus

Percayalah, mau mengumpulkan duit sebanyak apapun kalau calon pasanganmu tamak, itu nggak akan sanggup membayar semuanya. Orang-orang ini yang terkena virus dari nomer 1-5 merasa kalau nggak cukup harta, nggak akan bisa menikah, pemikiran mereka tentang pernikahan jadi semenakutkan itu. Padahal diluar sana nggak semua pasangan melulu memikirkan duit, hal-hal duniawi bahkan menerapkan standar rumah tangga seperti medsos. Ada yang punya standar sendiri, mereka aman-aman saja dengan rumah tangganya. Mungkin kamu yang takut nikah belum ketemu dengan orang yang betul-betul realistis dengan tujuan pernikahan, coba deh kalau sudah ketemu pasti gercep pengen menikah. Karena sejatinya menikah itu harus punya tujuan, misal tujuan utama sebenarnya pernikahan adalah ibadah, untuk mencapai tahapan ibadah ini orang pasti akan sungguh-sungguh menjaga, seperti tidak KDRT, tidak selingkuh, saling menjaga, saling menasehati, karena terkadang orang yang niat menikahnya karena ibadah saja banyak yang tergelincir apalagi yang tidak diniatkan karena itu.

 

Jadi buat adek-adek yang menganggap menikah itu menakutkan, pahami dulu tujuan menikah itu apa, prosesnya bagimana, cara menjalaninya kayak apa. Kalau sudah punya pedoman dan contoh Insya Allah akan merasa menikah jika sudah siap tak perlu pusing soal harta, keluarga apalagi musibah. Karena jika dijalani berdua dan dengan niat yang sama semua ujian akan terasa ringan. Tsaaaah…

 

Post a Comment

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca catatan saya, semoga bermanfaat ya ^^
Mohon komennya jangan pakai link hidup, :)